SE - 04/PJ.7/1993 Yang wajib Kita Tau - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Sebelum membahas mengenai SE - 04/PJ.7/1993, tidak Bisa dipungkiri : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar lelucon warisan. Memang benar Indonesia pernah mendapatkan masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya sayang belum digunakan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh Industri dan perusahaan wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah. Produksi dan gunakan alat alat dan teknologi buatan sendiri. Rakyat kita sudah mampu dan cukup pintar. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas SE - 04/PJ.7/1993, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

SE - 04/PJ.7/1993


Terus terang, saya mengetahui adanya prinsip material di UU PPh sejak kuliah di UI khususnya dari Pak R. Mansury. Prinsip materialitas disebutkan di Pasal 4 ayat (1) UU PPh dengan Perkataan-Perkataan "dengan nama dan dalam bentuk apapun". Menurutnya, Perkataan-Perkataan tersebut merupakan istilah lain dari [the substance over-form priciple].akan tetapi ada yang bertanya, "Dimana Perkataan-Perkataan substance over-form dalam peraturan perpajakan kita disebutkan?" Nah, ternyata ada di SE - 04/PJ.7/1993 mengenai PETUNJUK PENANGANAN KASUS-KASUS TRANSFER PRICING (SERI TP - 1)

Berikut kutipan asas material dimaksud:
wajib ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing Bisa terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form rule).

Nah sekarang lebih yakin bahwa UU PPh kita menganut substance over form rule. Formalitas diatas kertas yang dituangkan dalam bentuk perjanjian [agreement], misalnya, Bisa diabaikan atau dikoreksi bila memang substansi dari suatu transaksi berbeda dengan formalitasnya.

Koreksi yang dilakukan Bisa terjadi di :
(1) Harga penjualan;
(2) Harga pembelian;
(3) Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
(4) Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
(5) Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;
(6) Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
(7) Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).

Postingan selanjutnya mengenai transfer pricing saya kutip dari SE - 04/PJ.7/1993. Sebab surat edaran ini cukup panjang maka saya potong-potong :D

bersambung ...

SE - 04/PJ.7/1993 Yang wajib Kita Tau


Sebelum membahas mengenai SE - 04/PJ.7/1993, tidak Bisa dipungkiri : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar lelucon warisan. Memang benar Indonesia pernah mendapatkan masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya sayang belum digunakan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh Industri dan perusahaan wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah. Produksi dan gunakan alat alat dan teknologi buatan sendiri. Rakyat kita sudah mampu dan cukup pintar. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas SE - 04/PJ.7/1993, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

SE - 04/PJ.7/1993


Terus terang, saya mengetahui adanya prinsip material di UU PPh sejak kuliah di UI khususnya dari Pak R. Mansury. Prinsip materialitas disebutkan di Pasal 4 ayat (1) UU PPh dengan Perkataan-Perkataan "dengan nama dan dalam bentuk apapun". Menurutnya, Perkataan-Perkataan tersebut merupakan istilah lain dari [the substance over-form priciple].akan tetapi ada yang bertanya, "Dimana Perkataan-Perkataan substance over-form dalam peraturan perpajakan kita disebutkan?" Nah, ternyata ada di SE - 04/PJ.7/1993 mengenai PETUNJUK PENANGANAN KASUS-KASUS TRANSFER PRICING (SERI TP - 1)

Berikut kutipan asas material dimaksud:
wajib ditegaskan pula bahwa Transfer Pricing Bisa terjadi antar Wajib Pajak Dalam Negeri atau antara Wajib Pajak Dalam Negeri dengan pihak Luar Negeri, terutama yang berkedudukan di Tax Haven Countries (Negara yang tidak memungut/memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan kita menganut azas mate-riil (substance over form rule).

Nah sekarang lebih yakin bahwa UU PPh kita menganut substance over form rule. Formalitas diatas kertas yang dituangkan dalam bentuk perjanjian [agreement], misalnya, Bisa diabaikan atau dikoreksi bila memang substansi dari suatu transaksi berbeda dengan formalitasnya.

Koreksi yang dilakukan Bisa terjadi di :
(1) Harga penjualan;
(2) Harga pembelian;
(3) Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);
(4) Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
(5) Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;
(6) Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;
(7) Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center).

Postingan selanjutnya mengenai transfer pricing saya kutip dari SE - 04/PJ.7/1993. Sebab surat edaran ini cukup panjang maka saya potong-potong :D

bersambung ...
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo