Pembebanan bunga shareholder loan Yang Wajib Kita Baca - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Sebelum membahas mengenai Pembebanan bunga shareholder loan, perhatikan bahwa : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya sayang belum dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. untuk yg tidak mau sekolah atau yg tidak menyekolahkan anaknya wajib dihukum seberat beratnya. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pembebanan bunga shareholder loan, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Pembebanan bunga shareholder loan


Berikut ini yaitu kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan) :

Contoh :
H Ltd di Hongkong mempunyai 80% saham PT. C dengan modal yang belum disetor sebesar Rp. 0 juta. H Ltd juga membagikan pinjaman sebesar Rp. 500 juta dengan bunga 25% atau Rp. 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku yaitu 20%.

Perlakuan perpajakan :
(a) Penentuan kembali jumlah utang PT. C. Pinjaman sebesar Rp. 0 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. C yang Bisa diakui yaitu sebesar Rp. 300 juta ( RP. 500 juta - Rp. 0 juta ).
(b) Perhitungan Pajak Penghasilan. untuk PT. C pengurangan biaya bunga yang Bisa dibebankan yaitu Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan terkena pajak.

Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta - Rp. 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.


Catatan saya :
Pinjaman sebesar Rp. 0 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung dikarenakan H Ltd belum menyetor saham. Dari Rp.500 juta pinjaman, Rp. 0 juta dianggap sebagai penyetoran modal sedangkan sisanya masih tetap diakui sebagai pinjaman induk kepada anak perusahaan. Artinya, kantor pajak mengakui hutang H Ltd ke PT C hanya sebesar Rp. 500 juta – Rp. 0 juta = Rp. 300 juta.

PT C memberi bunga ke H Ltd sebesar Rp. 25% dari Rp. 500 juta atau Rp. 125 juta setahun. Padahal tingkat bunga yang berlaku di pasar hanya sebesar 20% atau Rp. 100 juta aja. Sebab itu, pemberian bunga sebesar Rp. 125 juta wajib dikoreksi Sebab :
1. inti hutang dikoreksi, dan
2. Tingkat bunga wajib memakai tingkat bunga wajar [tingkat bunga pasar].

Bunga yang boleh dibebankan di PT C hanya sebesar Rp. 20% x Rp. 300 juta = Rp. 60 juta. Sedangkan sisanya, Rp. 125 juta – Rp. 60 juta = Rp. 65 juta dianggap sebagai deviden dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan bruto.

Dengan demikian, walaupun formalitasnya [nama dan bukti formal] pembayaran Rp. 125 juta merupakan pembayaran bunga ke H Ltd akan tetapi di substansinya bunga yang dibayar seharusnya hanya sebesar Rp. 60 juta aja (substance over form rule).

Peraturan seperti ini dalam perpajakan disebut thin capitalization rule yang digunakan untuk mengetahui adanya modal yang tersembunyi atau terselubung melalui pinjaman yang berlebihan. UU PPh 1984 menempatkan thin capitalization rule di Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi :
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.


Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh 1984 ini berbunyi :
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang Bisa dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka di umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan terkena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.

Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha yaitu adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.

Pembebanan bunga shareholder loan Yang Wajib Kita Baca


Sebelum membahas mengenai Pembebanan bunga shareholder loan, perhatikan bahwa : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya sayang belum dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. untuk yg tidak mau sekolah atau yg tidak menyekolahkan anaknya wajib dihukum seberat beratnya. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pembebanan bunga shareholder loan, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Pembebanan bunga shareholder loan


Berikut ini yaitu kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan) :

Contoh :
H Ltd di Hongkong mempunyai 80% saham PT. C dengan modal yang belum disetor sebesar Rp. 0 juta. H Ltd juga membagikan pinjaman sebesar Rp. 500 juta dengan bunga 25% atau Rp. 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku yaitu 20%.

Perlakuan perpajakan :
(a) Penentuan kembali jumlah utang PT. C. Pinjaman sebesar Rp. 0 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. C yang Bisa diakui yaitu sebesar Rp. 300 juta ( RP. 500 juta - Rp. 0 juta ).
(b) Perhitungan Pajak Penghasilan. untuk PT. C pengurangan biaya bunga yang Bisa dibebankan yaitu Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan terkena pajak.

Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta - Rp. 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.


Catatan saya :
Pinjaman sebesar Rp. 0 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung dikarenakan H Ltd belum menyetor saham. Dari Rp.500 juta pinjaman, Rp. 0 juta dianggap sebagai penyetoran modal sedangkan sisanya masih tetap diakui sebagai pinjaman induk kepada anak perusahaan. Artinya, kantor pajak mengakui hutang H Ltd ke PT C hanya sebesar Rp. 500 juta – Rp. 0 juta = Rp. 300 juta.

PT C memberi bunga ke H Ltd sebesar Rp. 25% dari Rp. 500 juta atau Rp. 125 juta setahun. Padahal tingkat bunga yang berlaku di pasar hanya sebesar 20% atau Rp. 100 juta aja. Sebab itu, pemberian bunga sebesar Rp. 125 juta wajib dikoreksi Sebab :
1. inti hutang dikoreksi, dan
2. Tingkat bunga wajib memakai tingkat bunga wajar [tingkat bunga pasar].

Bunga yang boleh dibebankan di PT C hanya sebesar Rp. 20% x Rp. 300 juta = Rp. 60 juta. Sedangkan sisanya, Rp. 125 juta – Rp. 60 juta = Rp. 65 juta dianggap sebagai deviden dan tidak boleh dibebankan sebagai biaya atau pengurang penghasilan bruto.

Dengan demikian, walaupun formalitasnya [nama dan bukti formal] pembayaran Rp. 125 juta merupakan pembayaran bunga ke H Ltd akan tetapi di substansinya bunga yang dibayar seharusnya hanya sebesar Rp. 60 juta aja (substance over form rule).

Peraturan seperti ini dalam perpajakan disebut thin capitalization rule yang digunakan untuk mengetahui adanya modal yang tersembunyi atau terselubung melalui pinjaman yang berlebihan. UU PPh 1984 menempatkan thin capitalization rule di Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi :
Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.


Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU PPh 1984 ini berbunyi :
Undang-undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang Bisa dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, maka di umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan terkena Pajak, Undang-undang ini menentukan adanya modal terselubung.

Istilah modal disini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi sedangkan yang dimaksud dengan kewajaran atau kelaziman usaha yaitu adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha.
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo