Pembayaran komisi dan jasa lain Yang Wajib Kita Baca - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Sebelum membahas mengenai Pembayaran komisi dan jasa lain, ada baiknya untuk menyimak hal berikut ini : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia pernah mendapatkan masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pembayaran komisi dan jasa lain, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Pembayaran komisi dan jasa lain


Berikut ini merupakan kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya.

Contoh kasus Pembayaran lisensi, franchise dan royalti :

Contoh 1 :
PT. A, perusahaan komputer, membagikan lisensi kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk memasarkan program komputernya dengan membayar royalti 20% dari penjualan bersih. Selain itu PT. A juga memasarkan program komputernya melalui PT. B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih.

Perlakuan perpajakan :
Oleh Sebab program komputer yang dipasarkan PT. B sama dengan yang dipasarkan PT. X, atas dasar matching transaction method untuk tujuan perpajakan maka royalti di PT. B juga wajib 20%. Kalau kondisi yang sama tidak diperoleh maka wajib diadakan penyesuaian. Pendekatan demikian disebut comparable adjustable method (metode sebanding yang disesuaikan).

Contoh tersebut Bisa juga digunakan untuk menguji kewajaran franchise atau imbalan lain yang serupa dengan itu.


Catatan saya:
Walaupun pembayaran royalti ke pihak independen (PT X) sebesar 20% akan tetapi tidak serta merta bahwa royalti 20% tersebut Bisa diterapkan ke pihak yang mempunyai hubungan istimewa (PT A). bila perbedaan harga tersebut dikarenakan faktor-faktor yang wajar, seperti biaya marketing, maka harga transfer pricing ke PT A wajib direkonstruksi dengan menyamakan atau mengeliminasi faktor-faktor pembeda sehingga didapat kondisi yang sebanding.

Contoh 2 :
G GmbH Jerman, perusahaan farmasi, mempunyai 50% saham PT. B (Indonesia) yang beroperasi di bidang usaha yang sama. G GmbH mensuplai bahan baku dan pembantu kepada PT. B dengan harga DM 0 per unit. Selanjutnya didapat informasi, misalnya dari SGS di Jerman, bahwa harga internasional untuk bahan tersebut merupakan DM 100 per unit.

Perlakuan perpajakan :
Harga sebanding untuk bahan tersebut merupakan DM 100 per unit. Untuk bahan farmasi umumnya terdapat paten atas penemuan ramuannya. Kemungkinan tidak terdapat kontrak lisensi yang ditutup antara G GmbH dengan PT. B. Kalau dalam praktek perdagangan ternyata di umumnya terdapat imbalan royalti (tanpa diketahui berapa jumlahnya), maka jumlah sebesar DM 20 dianggap sebagai pembayaran royalti.

Di lain pihak kalau diperoleh data bahwa royalti umumnya merupakan 10% dari harga, maka Bisa disimpulkan bahwa royaltinya sebesar DM 10, sedang selisihnya dianggap pembagian dividen.


Catatan saya:
Prakteknya sangat sulit memperoleh data mengenai royalti. hingga saat ini saya belum menemukan standar prosentase pemberian royalti, seperti sebesar 10% dari harga. akan tetapi di contoh diatas, royalti 10% sudah diasumsikan. bila ada standar pemberian royalti yang ditentukan oleh pemerintah atau DJP maka akan memudahkan para petugas di lapangan. Sebab banyak juga ditemukan penggunaan intangible property right akan tetapi tidak ada pemberian royalti. Padahal di dunia bisnis, kondisi seperti ini tentu tidak mungkin kecuali bila pembajakan [produk bajakan].

di kasus yang pernah saya temukan pemberian royalti bukan hanya dimasukkan dalam komponen harga barang [impor] akan tetapi teknik rekayasa keuangan dengan menimbulkan hutang yang tidak wajar.

Contoh kasus imbalan atau jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa Sesuai lainnya :
PT. A mempunyai 25% saham PT. B. PT. A membagikan bantuan teknik kepada PT. B dengan imbalan sebesar Rp. 500. Imbalan jasa yang sama dengan keadaan yang sama atau serupa merupakan Rp. 250.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam kasus di atas, maka imbalan jasa yang wajar merupakan Rp 250.


Contoh kasus komisi :
PT. A mempunyai 25% saham PT. B. PT. B juga merupakan distributor PT. A dengan komisi 5% dari harga jual. Disamping itu PT. B juga sebagai distributor produk perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa dengan komisi 9%.untuk memasarkan produk PT. A, diperlukan biaya-biaya promosi dan sebagainya yang menjadi beban PT. B.

Perlakuan perpajakan :
Berdasarkan analisis fungsi, maka besarnya komisi dari PT. A sebesar 5% merupakan kurang wajar Sebab sebagai distributor PT. B masih menanggung biaya promosi, dsb yang Bisa melebihi jumlah komisinya.

Di lain pihak diketahui bahwa komisi dari pihak ketiga yang tidak dibebani biaya promosi merupakan 9%. Oleh Sebab itu maka komisi dari PT. B yang wajar merupakan minimal sebesar 9% ditambah dengan suatu jumlah untuk menutup biaya yang wajib dikeluarkan.


Catatan saya:
Analisa fungsi Bisa dilakukan di waktu Investigasi dengan mengacu di Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 mengenai Pedoman Investigasi Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

Pembayaran komisi dan jasa lain Yang Wajib Kita Baca


Sebelum membahas mengenai Pembayaran komisi dan jasa lain, ada baiknya untuk menyimak hal berikut ini : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia pernah mendapatkan masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pembayaran komisi dan jasa lain, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Pembayaran komisi dan jasa lain


Berikut ini merupakan kutipan dari SE-04/PJ.7/1993, yaitu contoh kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya.

Contoh kasus Pembayaran lisensi, franchise dan royalti :

Contoh 1 :
PT. A, perusahaan komputer, membagikan lisensi kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk memasarkan program komputernya dengan membayar royalti 20% dari penjualan bersih. Selain itu PT. A juga memasarkan program komputernya melalui PT. B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih.

Perlakuan perpajakan :
Oleh Sebab program komputer yang dipasarkan PT. B sama dengan yang dipasarkan PT. X, atas dasar matching transaction method untuk tujuan perpajakan maka royalti di PT. B juga wajib 20%. Kalau kondisi yang sama tidak diperoleh maka wajib diadakan penyesuaian. Pendekatan demikian disebut comparable adjustable method (metode sebanding yang disesuaikan).

Contoh tersebut Bisa juga digunakan untuk menguji kewajaran franchise atau imbalan lain yang serupa dengan itu.


Catatan saya:
Walaupun pembayaran royalti ke pihak independen (PT X) sebesar 20% akan tetapi tidak serta merta bahwa royalti 20% tersebut Bisa diterapkan ke pihak yang mempunyai hubungan istimewa (PT A). bila perbedaan harga tersebut dikarenakan faktor-faktor yang wajar, seperti biaya marketing, maka harga transfer pricing ke PT A wajib direkonstruksi dengan menyamakan atau mengeliminasi faktor-faktor pembeda sehingga didapat kondisi yang sebanding.

Contoh 2 :
G GmbH Jerman, perusahaan farmasi, mempunyai 50% saham PT. B (Indonesia) yang beroperasi di bidang usaha yang sama. G GmbH mensuplai bahan baku dan pembantu kepada PT. B dengan harga DM 0 per unit. Selanjutnya didapat informasi, misalnya dari SGS di Jerman, bahwa harga internasional untuk bahan tersebut merupakan DM 100 per unit.

Perlakuan perpajakan :
Harga sebanding untuk bahan tersebut merupakan DM 100 per unit. Untuk bahan farmasi umumnya terdapat paten atas penemuan ramuannya. Kemungkinan tidak terdapat kontrak lisensi yang ditutup antara G GmbH dengan PT. B. Kalau dalam praktek perdagangan ternyata di umumnya terdapat imbalan royalti (tanpa diketahui berapa jumlahnya), maka jumlah sebesar DM 20 dianggap sebagai pembayaran royalti.

Di lain pihak kalau diperoleh data bahwa royalti umumnya merupakan 10% dari harga, maka Bisa disimpulkan bahwa royaltinya sebesar DM 10, sedang selisihnya dianggap pembagian dividen.


Catatan saya:
Prakteknya sangat sulit memperoleh data mengenai royalti. hingga saat ini saya belum menemukan standar prosentase pemberian royalti, seperti sebesar 10% dari harga. akan tetapi di contoh diatas, royalti 10% sudah diasumsikan. bila ada standar pemberian royalti yang ditentukan oleh pemerintah atau DJP maka akan memudahkan para petugas di lapangan. Sebab banyak juga ditemukan penggunaan intangible property right akan tetapi tidak ada pemberian royalti. Padahal di dunia bisnis, kondisi seperti ini tentu tidak mungkin kecuali bila pembajakan [produk bajakan].

di kasus yang pernah saya temukan pemberian royalti bukan hanya dimasukkan dalam komponen harga barang [impor] akan tetapi teknik rekayasa keuangan dengan menimbulkan hutang yang tidak wajar.

Contoh kasus imbalan atau jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa Sesuai lainnya :
PT. A mempunyai 25% saham PT. B. PT. A membagikan bantuan teknik kepada PT. B dengan imbalan sebesar Rp. 500. Imbalan jasa yang sama dengan keadaan yang sama atau serupa merupakan Rp. 250.

Perlakuan Perpajakan :
Dalam kasus di atas, maka imbalan jasa yang wajar merupakan Rp 250.


Contoh kasus komisi :
PT. A mempunyai 25% saham PT. B. PT. B juga merupakan distributor PT. A dengan komisi 5% dari harga jual. Disamping itu PT. B juga sebagai distributor produk perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa dengan komisi 9%.untuk memasarkan produk PT. A, diperlukan biaya-biaya promosi dan sebagainya yang menjadi beban PT. B.

Perlakuan perpajakan :
Berdasarkan analisis fungsi, maka besarnya komisi dari PT. A sebesar 5% merupakan kurang wajar Sebab sebagai distributor PT. B masih menanggung biaya promosi, dsb yang Bisa melebihi jumlah komisinya.

Di lain pihak diketahui bahwa komisi dari pihak ketiga yang tidak dibebani biaya promosi merupakan 9%. Oleh Sebab itu maka komisi dari PT. B yang wajar merupakan minimal sebesar 9% ditambah dengan suatu jumlah untuk menutup biaya yang wajib dikeluarkan.


Catatan saya:
Analisa fungsi Bisa dilakukan di waktu Investigasi dengan mengacu di Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-01/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 mengenai Pedoman Investigasi Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo