
Sebelum membahas mengenai Pajak atas Bahan Bakar, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Memang benar Indonesia pernah menemui masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dialokasikan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Berikan otonomi seluas luasnya tiap daerah untuk mengatur dan mengelola sumberdaya sendiri. Hasil bumi di daerah tidak boleh dijual ke luar negeri, gunakan dulu untuk rakyat lebihnya baru dijual. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pajak atas Bahan Bakar, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.
Pajak atas Bahan Bakar
Dear Pak Raden Suparman, Salam kenal pak.
Terima kasih atas blognya yang sangat membantu pekerjaan saya. ada sedikit pertanyaan mengenai perpajakan pak, dan saya sangat berterima kasih sekali bila bapak berkenan membantu saya. rencananya perusahaan kami (PMA) ingin membuat perusahaan niaga terbatas bahan bakar minyak (salah satu kegiatan usaha hilir migas). dengan Tutorial mengimpor minyak bakar (minyak solar dan minyak bakar) dan langsung menjualnya untuk industri dan end user di Indonesia. yang saya ingin tanyakan merupakan pajak apa aja yang terkait dengan kegiatan tersebut.
1. Di dalam kegiatan import (PPH, PPN, Bea Masuk, dll)
2. Penjualan kepada industri dan end user (PPN, PPH, pajak untuk pemerintah daerah, dll)
3. di dalam Pengecualian Pemungutan PPH pasal 22 disebutkan di dalam salah satu butirnya: "Pembayaran untuk pembelian bahan bakar, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda pos". apa maksud dari kalimat ini? apakah untuk pembelian bahan bakar tidak di kenakan PPH pasal 22?
4. di dalam blog bapak disebutkan tarif final untuk industri migas SPBU swasta sebesar 0.3%, bagaimana perlakuannya bila kita tidak menjualnya melalui SPBU? apakah tetap dikenakan tarif 0.3%?
terima kasih atas tanggapan bapak.
Best Regards,
Soliandou Romdhoni ===========================================================
Salam kenal Pa Romdhoni,
Terima kasih telah berkunjung ke blog saya. Blog ini saya maksudkan untuk membantu Wajib Pajak mendapatkan informasi kewajiban dan pelayanan perpajakan khususnya pajak yang dikelola oleh DJP. Walaupun begitu, banyak tulisan di blog ini sebenarnya penafsiran pribadi mengenai peraturan perpajakan.
Jawaban saya atas pertanyaan diatas, saya yakin, tidak memuaskan, terutama mengenai Bea Masuk, dan pajak untuk pemerintah daerah. akan tetapi saya harap Bisa membantu.
PPh Pasal 22
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf e Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 (dirubah dengan 236/KMK.03/2003) bahwa pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. Bahkan pembebasan tersebut dilakukan dengan cara otomatis, tidak wajib ada SKB (surat keterangan bebas) dari kantor pajak. Pembebasan ini tentunya berlaku bagus untuk impor atau pembelian dalam negeri Sebab keputusan menteri keuangan ini mengatur PPh Pasal 22 bagus untuk pembelian barang impor ataupun pembelian barang di dalam negeri.
Petunjuk pelaksana KMK ini merupakan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-417/PJ./2001 dan ketentuan diatas tetap dicantumkan. akan tetapi di KEP ini ada ketentuan Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas.
Apa maksud Pasal 3 ayat (1) huruf e Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001, terutama dihubungkan kewajiban pemungutan PPh Pasal 22? Satu sisi membebaskan memungut atas pembelian, akan tetapi satu sisi mewajibkan memungut atas penjualan? Padahal kalau ada pembelian, dilawan transaksi pasti merupakan penjualan? Itulah pertanyaan yang saya tangkap dari email Pa Romdhoni. Dan, jawaban saya sebagai berikut:
Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 22 UU PPh 1984. Keputusan menteri keuangan ini menentukan siapa-siapa yang menjadi pemungut PPh Pasal 22. Tidak semua Wajib Pajak ditetapkan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Pasal 22 ayat (1) UU PPh 1984 “menugaskan” kepada bendaharawan pemerintah dan badan-badan tertentu untuk memungut PPh ini. Badan-badan tertentu ini diatur di Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 dan 236/KMK.03/2003 , yaitu :
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
2. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah bagus di tingkat Pemerintah Pusat ataupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang menjalankan pembayaran atas pembelian barang.
3. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang menjalankan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut di butir 4.
4. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PTKrakatau Steel, Pertamina, dan Bank-bank BUMN yang menjalankan pembelian barang yang dananya bersumber bagus dari APBN ataupun non-APBN.
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.
6. Pertamina serta badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya.
7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
PPh Pasal 22 di intinya memungutan PPh di saat pembelian. Dan, di awalnya, PPh Pasal 22 dipungut atas setiap “belanja” oleh bendaharawan untuk dana yang berasal dari APBN/APBD, dan atas setiap impor oleh Ditjen Bea dan Cukai. akan tetapi tidak setiap belanja oleh bendaharawan wajib dipungut PPh Pasal 22. Belanja mana aja yang dikecuali dari pemungutan PPh Pasal 22? Jawabannya ada di Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001.
Artinya, bila ada bendaharawan pemerintah yang “belanja” bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos, maka bendaharawan tersebut tidak boleh memungut PPh Pasal 22. Dan pengecualian tersebut berlaku juga untuk belanja yang dilakukan oleh BUMN dan BUMD bagus dananya dari APBN/APBD ataupun dana non-APBN/APBD. Dan, tentunya belanja disini dimaksudkan untuk konsumsi, bukan untuk dijual kembali.
Jadi, jawaban atas pertanyaan Pa Romdhoni nomor tiga diatas merupakan pembelian bahan bakar minyak untuk konsumsi, bukan pembelian bahan bakar minyak untuk dijual kembali.
Kenapa pengecualian dibatasi hanya untuk konsumsi? Sebab khusus untuk bahan bakar minyak PPh Pasal 22 dipungut oleh Pertamina “dan badan lain” yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak, di saat penjualan. Setiap penjualan bahan bahar minyak yang dilakukan oleh Pertamina, maka Pertamina langsung memungut PPh Pasal 22.
Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan ditingkat Pertamina. Mata rantai setelah Pertamina tidak wajib memungut PPh Pasal 22. Bagaimana bila bahan bakar minyak tersebut bukan berasal dari Pertamina? PPh Pasal 22 tersebut dipungut oleh produsen dan atau importir di saat penjualan. Nah, perusahaan Pa Romdhoni nampaknya masuk katagori terakhir.
Importir memungut PPh Pasal 22 atas setiap penjualan yang dia lakukan. Penjualan bahan bakar minyak tentu tidak wajib lewat SPBU. Bisa langsung ke konsumen industri. akan tetapi PPh Pasal 22 tetap dilakukan pemungutan dengan tarif 0,3% dari total penjualan.
Hanya aja, ada perbedaan “status” PPh Pasal 22 tersebut. bila “konsumen” (maksudnya pembeli) tersebut merupakan penyalur/agen, maka PPh Pasal 22 tersebut bersifat FINAL. akan tetapi bila bukan penyalur/agen, maka PPh Pasal 22 tidak final dan Bisa dikreditkan di PPh Badan “konsumen” tersebut. Pendapat ini sesuai surat S-54/PJ.43/2006.
PPN
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 144 tahun 2000 bahwa minyak mentah (crude oil) termasuk barang yang tidak dikenakan PPN. Selain minyak mentah berarti termasuk objek PPN dan dikenakan PPN dengan tarif 10% (tarif tunggal).
Saya tidak menemukan pengaturan yang khusus untuk bahan bakar minyak ini. Jadi saya berkesimpulan bahwa pengenaan PPN atas bahan bakar minyak sama seperti BKP lainnya melalui mekanisme PK-PM. Sekarang, Pemungut PPN hanya dibatasi untuk bendaharawan pemerintan dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).
Bea Masuk
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 07/PMK.010/2005 mengenai penurunan tarif Bea Masuk bahan bakar minyak tertentu bahwa tarif Bea Masuk atas impor bahan bakar motor sebesar 0%. Jenis bahan bakar-nya antara lain : Bahan bakar motor, premium bertimbal; Bahan bakar motor, premium tanpa timbal; Bahan bakar motor, reguler bertimbal; Bahan bakar motor, reguler tanpa timbal; Bahan bakar motor lainnya, bertimbal; Bahan bakar motor lainnya, tanpa timbale; Bahan bakar pesawat terbang; White spirit; Kerosin lampu; Kerosin lainnya, termasuk vapourising oi; Bahan bakar turbin pesawat terbang (bahan bakar jet); Topped crude.
PBBKB
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2001 mengenai Pajak Daerah bahwa Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor merupakan bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air. Jenis bahan bakar yang menjadi objek merupakan bensin, solar, dan bahan bakar gas.
Pemungut PBBKB ini merupakan penyedia bahan baker kendaraan bermotor sebesar 5% dari nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.