Artikel Jasa-jasa Telekomunikasi ini khusus memang untuk kita, tapi sebelum membahasnya, ada baiknya untuk menyimak hal berikut ini : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Berikan otonomi seluas luasnya tiap daerah untuk mengatur dan mengelola sumberdaya sendiri. Produksi dan gunakan alat alat dan teknologi buatan sendiri. Rakyat kita sudah mampu dan cukup pintar. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Jasa-jasa Telekomunikasi, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.
Jasa-jasa Telekomunikasi
di tanggal 19 September 2007 (tanggal surat) Direktur Peraturan Perpajakan menjawab surat yang dilayangkan oleh Sdr Ucu Sulaksana (PT Aplikanusa Lintasarta) yang menanyakan PPh Pasal 23 atas jasa telekomunikasi. Surat dengan nomor S-813/PJ.032/2007 tersebut Bisa dijadikan acuan bahwa jasa telekomunikasi bukan objek PPh Pasal 23. Berikut kesimpulan surat(angka 3 surat tersebut) :
“Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dengan ini ditegaskan bahwa sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-70/PJ/2007 jasa-jasa telekomunikasi tidak tercantum sebagai jenis jasa yang atas penghasilannnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, oleh Sebab itu atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) di atas.”
Bunyi kalimat di butir 2 huruf b angka 3) sebagaiberikut:
“Pasal 4, besarnya Estimasi Penghasilan Neto atas imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) yaitu sebagaimana tercantum dalam lampiran II Peratuaran Direktur Jenderal Pajak ini.”
Perhatikan kalimat sebelum koma berikut, “.. jasa-jasa telekomunikasi tidak tercantum sebagai jenis jasa yang atas penghasilannnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23, ..” Kalimat ini merupakan penegasan bahwa jasa-jasa telekomunikasi bukan objek PPh Pasal 23. Kenapa bukan objek PPh Pasal 23? Sebab tidak tercantum dalam lampiran PER-70/PJ/2007. Sedangkan lampiran PER-70/PJ/2007 menyebutkan jenis-jenis apa aja yang dikenakan atau merupakan objek PPh Pasal 23.
Penafsiran Berbeda
Kalimat terakhir kesimpulan surat tersebut bila tidak dibaca lengkap akan berbeda arti dan bertolak belakang dari maksud surat tersebut. Kalimat yang dimaksud, “atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa”. bila kalimat ini aja yang dibaca, maka semua sewa yaitu objek PPh Pasal 23, dan semua imbalan jasa yaitu objek PPh Pasal 23. Semua pembayaran yang mengandung unsur sewa dan imbalan jasa merupakan objek PPh Pasal 23. Seandainya semua imbalan jasa merupakan objek PPh Pasal 23, lantas kenapa Direktur Jenderal Pajak wajib repot-repot menyebutkan jasa-jasa mana aja yang merupakan objek PPh Pasal 23?
Kalimat yang lengkap yaitu, “.. atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam butir 2 huruf b angka 3) di atas.” Kalimat ini Bisa diartikan sebagai berikut : atas pembayaran yang dilakukan tidak dipotong PPh Pasal 23 sepanjang tidak terdapat unsur sewa atau imbalan jasa sebagaimana diatur di lampiran PER-70/PJ/2007. Atau lebih singkat lagi : tidak dipotong PPh Pasal 23 bila tidak ada sewa atau imbalan jasa seperti yang disebutkan di lampiran PER-70/PJ/2007.
Positive List vs Negative List
Banyak yang belum menyadari bahwa PPh Pasal 23 mengandung kaidah positive list, bukan negative list. Positive list maksudnya bahwa hanya jasa-jasa yang telah disebutkan aja yang merupakan objek PPh Pasal 23. Sebaliknya negative list menyebutkan jasa-jasa yang bukan objek PPh Pasal 23. Artinya, jasa-jasa yang tidak disebutkan merupakan objek PPh Pasal 23.
Apa dasar positive list? Dasarnya yaitu Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984, yaitu
“Besarnya Estimasi penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.”
Sedangkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 berbunyi sebagai berikut:
“c. sebesar 15% (lima belas persen) dari Estimasi penghasilan neto atas :
1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.”
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh 1984 jasa-jasa yang dikenakan PPh Pasal 23 yaitu :
[1] sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
[2] imbalan jasa teknik,
[3] imbalan jasa manajemen,
[4] imbalan jasa konstruksi,
[5] imbalan jasa konsultan, dan
[6] imbalan jasa lain
Apa itu jasa lain? UU PPh 1984 setelah itu membagikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menyebutkan jenis-jenis jasa apa aja yang merupakan objek PPh Pasal 23. Tidak ada penafsiran lain bahwa Pasal 23 ayat (2) UU PPh 1984 mengharuskan Direktur Jenderal Pajak untuk “menetapkan” jenis-jenis jasa yang merupakan objek PPh Pasal 23. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak yaitu menambah jenis jasa-jasa ke enam dan seterusnya. Inilah yang disebut positive list.
Cag!