Kuasa Wajib Pajak Yang wajib Kita Baca - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Artikel Kuasa Wajib Pajak ini khusus disajikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya tapi belum digunakan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Tidak boleh mengirim TKI untuk tenaga buruh dan pembantu. Beri pendidikan profesional dulu. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Kuasa Wajib Pajak, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Kuasa Wajib Pajak


Pak Darussalam dan Pak Danny tanggal 26 Februari menulis mengenai Surat Kuasa di perpajakan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 22 tahun 2017. Bahkan suatu artikel di awal Maret 2017 di www.bisnis.com memperingatkan bahwa para manajer perpajakan di perusahaan besar supaya siap-siap angkat koper.

Sebenarnya siapa kuasa Wajib Pajak?
Kuasa Wajib Pajak bermula dari Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2017 [UU No. 28 Tahun 2017]. Berikut bunyi lengkapnya :
(3)Orang pribadi atau badan Bisa menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan Copyright dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta Aplikasi Copyright dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud di ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Nah, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 32 ayat (3a)UU KUP, Menteri Keuangan setelah itu mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 yang diterbitkan tanggal 6 Februari 2017 mengenai Persyaratan Serta Aplikasi Copyright dan Kewajiban Seorang Kuasa.

Dan di Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 ada ketentuan yang menjadi "belenggu" untuk pegawai Wajib Pajak [termasuk para manajer atau supervisor perpajakan di perusahaan besar]. Inilah ketentuan yang dimaksud, Pasal 4 ayat (1)
Seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya Bisa menerima kuasa dari:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun; atau
c. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 2.400.000.000,00 (dua miliar empat ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun.

Perhatikan Perkataan-Perkataan "termasuk karyawan WP". Staf, Supervisor, Manajer, Direktur atau Spesialis Perpajakan yang bekerja di perusahaan besar dengan omset diatas Rp.2,4 milyar tentu tidak akan Bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Para karyawan Wajib Pajak [apapun jabatannya] hanya Bisa menerima kuasa bila perusahaan tersebut beromset dibawah itu. Dengan Perkataan lain, perusahaan besar hanya Bisa memberi surat kuasa ke konsultan pajak.

Apalagi ditambah dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 berikut :
Setiap Pegawai dilarang menindaklanjuti Aplikasi Copyright dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang membagikan kuasa kepada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Tentu yang dimaksud "setiap pegawai" di pasal ini merupakan setiap pegawai kantor pajak, apapun jabatannya. Karyawan Wajib Pajak yang tidak memenuni persyaratan Pasal 4 tentu tidak Bisa menerima surat kuasa sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (2).
Inilah tafsiran yang diperdebatkan.

Beruntung, Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk mengatur lebih lanjut mengenai kuasa Wajib Pajak. Hanya aja kewenangan di Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengharuskan Dirjen Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dan hingga saat ini, saya belum membaca PerDirjen dimaksud. akan tetapi di tanggal 10 Maret 2017, Dirjen Pajak justru menerbitkan Surat Edaran No. 16/PJ/2017. bila mau membaca lebih lanjut silakan diunduh disini.

Kesimpulan dari Surat Edaran tersebut menyebutkan :
... dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali serta karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan perusahaan Bisa melaksanakan Copyright dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

Dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak, Bisa ditandatangani oleh pejabat/karyawan yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

Penyerahan dokumen yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Bisa disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu, tidak memerlukan surat kuasa khusus atau surat penunjukan.


Perhatikan Perkataan-Perkataan "karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan ... tanpa memerlukan surat kuasa khusus". Artinya, sejak dikeluarkan Surat Edaran ini para karyawan Wajib Pajak "yang mempunyai kewenangan menentukan kebijakan" [apapun jabatannya] Bisa mewakili Wajib Pajak di kantor pajak untuk urusan perpajakan dan tidak wajib ada Surat Kuasa.

Apakah Surat Edaran ini melangkahi Peraturan Menteri Keuangan? Mungkin ya, terutama Sebab saya menduga bahwa Surat Edaran ini keluar sebelum terbit PerDirjen. akan tetapi [setelah saya pikir-pikir] kuncinya ada di Perkataan-Perkataan "yang mempunyai kewenangan menentukan kebijakan". bila karyawan Wajib Pajak yang tidak mempunyai kewenangan mengurus perpajakan di kantor pajak [terutama masalah Investigasi dan keberatan] maka karyawan tersebut tetap wajib dibekali Surat Kuasa sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017.

Cag ah!

Kuasa Wajib Pajak Yang wajib Kita Baca


Artikel Kuasa Wajib Pajak ini khusus disajikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya tapi belum digunakan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Tidak boleh mengirim TKI untuk tenaga buruh dan pembantu. Beri pendidikan profesional dulu. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Kuasa Wajib Pajak, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Kuasa Wajib Pajak


Pak Darussalam dan Pak Danny tanggal 26 Februari menulis mengenai Surat Kuasa di perpajakan sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Keuangan No. 22 tahun 2017. Bahkan suatu artikel di awal Maret 2017 di www.bisnis.com memperingatkan bahwa para manajer perpajakan di perusahaan besar supaya siap-siap angkat koper.

Sebenarnya siapa kuasa Wajib Pajak?
Kuasa Wajib Pajak bermula dari Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) UU KUP yang mulai berlaku 1 Januari 2017 [UU No. 28 Tahun 2017]. Berikut bunyi lengkapnya :
(3)Orang pribadi atau badan Bisa menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan Copyright dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3a) Persyaratan serta Aplikasi Copyright dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud di ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Nah, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Pasal 32 ayat (3a)UU KUP, Menteri Keuangan setelah itu mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 yang diterbitkan tanggal 6 Februari 2017 mengenai Persyaratan Serta Aplikasi Copyright dan Kewajiban Seorang Kuasa.

Dan di Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 ada ketentuan yang menjadi "belenggu" untuk pegawai Wajib Pajak [termasuk para manajer atau supervisor perpajakan di perusahaan besar]. Inilah ketentuan yang dimaksud, Pasal 4 ayat (1)
Seseorang yang bukan konsultan pajak termasuk karyawan Wajib Pajak hanya Bisa menerima kuasa dari:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun; atau
c. Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 2.400.000.000,00 (dua miliar empat ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun.

Perhatikan Perkataan-Perkataan "termasuk karyawan WP". Staf, Supervisor, Manajer, Direktur atau Spesialis Perpajakan yang bekerja di perusahaan besar dengan omset diatas Rp.2,4 milyar tentu tidak akan Bisa menjadi kuasa Wajib Pajak. Para karyawan Wajib Pajak [apapun jabatannya] hanya Bisa menerima kuasa bila perusahaan tersebut beromset dibawah itu. Dengan Perkataan lain, perusahaan besar hanya Bisa memberi surat kuasa ke konsultan pajak.

Apalagi ditambah dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 berikut :
Setiap Pegawai dilarang menindaklanjuti Aplikasi Copyright dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang membagikan kuasa kepada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

Tentu yang dimaksud "setiap pegawai" di pasal ini merupakan setiap pegawai kantor pajak, apapun jabatannya. Karyawan Wajib Pajak yang tidak memenuni persyaratan Pasal 4 tentu tidak Bisa menerima surat kuasa sebagaimana diatur di Pasal 2 ayat (2).
Inilah tafsiran yang diperdebatkan.

Beruntung, Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017 memberi kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk mengatur lebih lanjut mengenai kuasa Wajib Pajak. Hanya aja kewenangan di Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan tersebut mengharuskan Dirjen Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Dan hingga saat ini, saya belum membaca PerDirjen dimaksud. akan tetapi di tanggal 10 Maret 2017, Dirjen Pajak justru menerbitkan Surat Edaran No. 16/PJ/2017. bila mau membaca lebih lanjut silakan diunduh disini.

Kesimpulan dari Surat Edaran tersebut menyebutkan :
... dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut :
Pengurus, komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali serta karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan perusahaan Bisa melaksanakan Copyright dan/atau kewajiban perpajakan Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

Dokumen perpajakan seperti Faktur Pajak dan/atau Surat Setoran Pajak, Bisa ditandatangani oleh pejabat/karyawan yang ditunjuk oleh Wajib Pajak tanpa memerlukan surat kuasa khusus.

Penyerahan dokumen yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Bisa disampaikan melalui Tempat Pelayanan Terpadu, tidak memerlukan surat kuasa khusus atau surat penunjukan.


Perhatikan Perkataan-Perkataan "karyawan Wajib Pajak yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan ... tanpa memerlukan surat kuasa khusus". Artinya, sejak dikeluarkan Surat Edaran ini para karyawan Wajib Pajak "yang mempunyai kewenangan menentukan kebijakan" [apapun jabatannya] Bisa mewakili Wajib Pajak di kantor pajak untuk urusan perpajakan dan tidak wajib ada Surat Kuasa.

Apakah Surat Edaran ini melangkahi Peraturan Menteri Keuangan? Mungkin ya, terutama Sebab saya menduga bahwa Surat Edaran ini keluar sebelum terbit PerDirjen. akan tetapi [setelah saya pikir-pikir] kuncinya ada di Perkataan-Perkataan "yang mempunyai kewenangan menentukan kebijakan". bila karyawan Wajib Pajak yang tidak mempunyai kewenangan mengurus perpajakan di kantor pajak [terutama masalah Investigasi dan keberatan] maka karyawan tersebut tetap wajib dibekali Surat Kuasa sesuai ketentuan Peraturan Menteri Keuangan No.22/PMK.03/2017.

Cag ah!
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo