Lahir Untuk Mencurigai Yang wajib Kita Ketahui - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Sebelum membahas mengenai Lahir Untuk Mencurigai, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar lelucon warisan. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum digunakan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Hasil bumi di daerah tidak boleh dijual ke luar negeri, gunakan dulu untuk rakyat lebihnya baru dijual. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Lahir Untuk Mencurigai, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Lahir Untuk Mencurigai


Seorang dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai pernah melontarkan bahwa fiskus itu dilahirkan untuk mencurigai Wajib Pajak. Itulah, salah satu alasan mengapa “administrator” perpajakan memandang perlunya dibuat faktur pajak standar. Bukankah setiap transaksi legal mestinya terdapat faktur (komersial)? Kenapa faktur tersebut tidak cukup untuk pajak? Bukankah pembuatan faktur pajak standar akan menambah biaya yang di ujungnya akan memperkecil laba usaha?

akan tetapi kalau kita perhatikan, ternyata kecurigaan fiskus itu tidak hanya dalam masalah faktur pajak standar, akan tetapi hampir semua kegiatan Wajib Pajak. Apalagi bila yang diperhatikan merupakan tradisi yang turun-temurun dalam dikehidupan perilaku birokrat fiskus. Akan lebih terasa bila seorang Wajib Pajak sedang diperiksa oleh kantor pajak.

Saya tidak tahu, apakah sikap curiga juga tumbuh dalam tradisi general audit seperti yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan Badan Pemeriksa Keuangan. Apakah auditor Kantor Akuntan Publik akan merasa hebat bila menemukan penyimpangan keuangan auditee? Apakah temen-temen auditor Badan Pemeriksa Keuangan akan merasa berprestasi bila mendapatkan “penyimpangan prosedur”? bila jawabannya, iya, saya kira begitulah tradisi audit?

Fiskus merupakan satu-satunya institusi (apa pun nama institusi itu) yang berhak mengawasi kegiatan Wajib Pajak. Kalimat tanya yang pasti keluar dari fiskus saat menerima Surat Pemberitahuan merupakan ,”Apakah sudah benar?” Perkataan benar dalam hal ini Bisa diterjemahkan: tidak ada yang disembunyikan oleh Wajib Pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, fiskus setidaknya menjalankan dua hal, yaitu penelitian dan Investigasi. Penelitian merupakan kegiatan fiskus untuk menilai kelengkapan dan kebenaran perhitungan (tambah, kurang, untuk dan kali) Surat Pemberitahuan. Sedangkan Investigasi di dasarnya semua tindakan fiskus untuk menguji kepatuhan semua kewajiban perpajakan.

Bukan Pak Pos
Konon, saat “jaman jahiliah”, yang namanya Investigasi pajak mirip reserse menangkap penjahat. Pemeriksa pajak dipersenjatai pistol untuk jaga diri. Pemeriksa disebar untuk mengepung lokasi Wajib Pajak. dengan cara mendadak, pemeriksa mendatangi kantor dan pabrik, langsung mencari dokumen atau catatan apa pun yang berkaitan dengan kegiatan Wajib Pajak dan langsung mengambil dokumen tersebut.

Kini, jaman jahiliah telah lewat. Aparat pajak diharuskan mentaati tata Tutorial Investigasi pajak. Ada Copyright-Copyright Wajib Pajak yang tidak boleh dilanggar. Sebaliknya, dalam praktek, banyak Copyright-Copyright pemeriksa pajak yang dilupakan supaya tidak disebut arogan. Celakanya, saat pemeriksa pajak membongkar-bongkar arsip Wajib Pajak atau menyegel ruangan Wajib Pajak, selalu aja ada Sudut Pandang negatif. Padahal, kegiatan tersebut bagian dari Copyright pemeriksa pajak.

Semua Investigasi yang dilakukan oleh fiskus di Republik tercinta ini selalu dan wajib didahului dengan adanya Surat Perintah Investigasi Pajak (SP3). Bersamaan dengan keluarnya SP3, selalu disertai Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa yang bersangkutan sedang diperiksa. Walaupun bukan idealnya, akan tetapi di prakteknya, saat surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada Wajib Pajak, pemeriksa pajak telah menyiapkan Surat Peminjaman Dokumen.

Hari pertama Investigasi dihitung sejak SP3 dan Surat Pemberitahuan Investigasi diterima oleh Wajib Pajak. Untuk bukti bahwa pemeriksa telah mendatangi lokasi Wajib Pajak dan menyampaikan SP3, biasanya pemeriksa meminta tanda tangan dan stempel dari Wajib Pajak. Di Jakarta, banyak Wajib Pajak yang menganggap bahwa pemeriksa pajak sama dengan tukang pos yang mengantar surat. Cukup diterima oleh petugas penerima tamu atau Pak Satpam.

Padahal kedatangan pemeriksa pajak ke lokasi Wajib Pajak lebih dari sekedar menyampaikan SP3. Hal yang lebih penting merupakan menjalankan wawancara dengan direksi mengenai kegiatan Wajib Pajak dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan Wajib Pajak bagus di kantor ataupun tempat produksi. Terakhir memeriksa arsip dokumen bagus di kantor atau gudang. Setelah itu baru meminjam dokumen-dokumen yang dianggap penting di saat itu juga.

Banyak direksi yang merasa enggan (mungkin takut?) menemui pemeriksa pajak. Petugas terpaksa berbohong bahwa direksi tidak ada ditempat walaupun sebelumnya mengatakan ada. Apa boleh buat! Wajib Pajak juga banyak yang keberatan dengan Investigasi lapangan dan peminjaman buku di saat itu juga. Biasanya Wajib Pajak meminta tempo dua atau tiga hari. Dan di kenyataannya Bisa hingga berminggu-minggu, dokumen belum juga nongol di kantor pajak.

untuk pemeriksa pajak, sikap tidak kooperatif tersebut akan menimbulkan kecurigaan. Kenapa direksi tidak mau diwawancarai? Kenapa peminjaman dokumen wajib menunggu waktu berhari-hari? Bukankah dokumen tinggal mengambil di gudang? Atau dokumen baru akan dibuat? Kalau demikian, bagaimana dengan SPT yang dibuatnya? Jangan-jangan...

Anggap rumah sendiri
Dulu, surat panggilan dikeluarkan untuk closing confrence. Sekarang ini, pemeriksa pajak Bisa mengeluarkan surat panggilan kepada Wajib Pajak hanya untuk meminta keterangan dari Wajib Pajak. akan tetapi, sebaiknya Wajib Pajak datang ke kantor pajak tidak wajib menunggu surat panggilan. Wajib Pajak Bisa datang ke kantor pajak kapan aja selama jam kerja. Terus terang aja, pemeriksa pajak akan suka bila sering ditengok Wajib Pajak Sebab informasi yang Bisa digali Bisa lebih banyak.

Tidak sedikit Wajib Pajak yang sulit datang ke kantor pajak. bila alasannya dibuat-buat atau terkesan dibuat-buat, pemeriksa pajak akan mempunyai citra yang jelek terhadap Wajib Pajak ini. Mungkin disebut “WP bandel” atau “WP susah”. Apa pun sebutannya, citra tersebut jelas akan merugikan Wajib Pajak sendiri. Pemeriksa pajak akan sewenang-wenang berdasarkan kewenangannya menjalankan penghitungan pajak. Mungkin akan menjalankan koreksi fiskal yang sebenarnya tidak wajib.

terkadang-terkadang pemeriksa pajak menjalankan koreksi fiskal Sebab ketidaktahuannya. Apa dan bagaimana core business Wajib Pajak? Mengapa dan untuk apa biaya “ini”? Benarkah ada pinjaman pemegang saham? Mengapa perusahaan tidak pernah membagikan deviden? Apa menfaat perusahaan untuk pemegang saham bila tidak ada deviden? Pertanyaan seperti itu hanya akan terjawab bila Wajib Pajak bertemu dengan pemeriksa pajak dan menerangkan hal sebenarnya.

Selain itu, banyak informasi yang sangat bermanfaat bila diketahui oleh pemeriksa akan tetapi tidak akan didapat dari buku besar. Walaupun informasi tersebut tidak terkait langsung dengan masalah penghasilan dan biaya. akan tetapi informasi mengenai “latar belakang” suatu pekerjaan, proyek, kebijakan direksi dan kegiatan sehari-hari pegawai akan membantu pemeriksa pajak dalam rangka memahami Hakikat Wajib Pajak dengan cara utuh. Jangan hingga Wajib Pajak dirugikan Sebab pemahaman pemeriksa pajak yang terbatas.

Contoh yang paling sering ditemukan dalam buku besar akan tetapi sering membingungkan pemeriksa merupakan jurnal penyesuaian akhir tahun. Wajib Pajak wajib menerangkan alasan dan perhitungan jurnal penyesuaian di akhir tahun. Coret-coretan untuk menghitung jurnal penyesuaian jangan hilang! Bisa jadi Sebab ketidakjelasan alasan dan perhitungan, jurnal penyesuaian tersebut dikoreksi (biasanya di biaya-biaya) sehingga biaya tersebut berkurang.

Contoh lain merupakan apa yang sering disebut sebagai “ayat silang”. Tanpa penjelasan, pemeriksa pajak mungkin akan bingung dari mana dan kemana saling silangnya. Apalagi bila ayat silang tersebut memakai “keranjang sampah”. Hal seperti ini ibarat mencampur beberapa warna cat kedalam satu ember. Hasilnya tentu warna lain. Sebab itu, alur ayat silang wajib jelas. Begitu juga perhitungan dibalik munculnya angka, jangan disembunyikan aja!

Pembuktian itu Penting
Konon, lagi, di jaman jahiliah, para pemeriksa pajak punya mantra sakti mandraguna. Semua Wajib Pajak tidak Bisa berkutik bila mantra itu sudah diucapkan. Mau tau mantra itu? Pokoknya! Perkataan “pokoknya” merupakan mantra pemeriksa pajak di jaman itu. Sebab masih official assessment maka semua pajak terutang dihitung oleh kantor pajak. Ditambah lagi budaya birokrat priyayi yang masih netes.

Sekarang Perkataan itu tidak ada artinya. Hilang kesaktiannya. Sebagai gantinya mungkin kalimat ini, “Buktikan dong!”. Pemeriksa pajak akan mengoreksi semua biaya yang tidak didukung dengan dokumen (ekstern) yang lengkap. Selain itu, pemeriksa akan menambah penghasilan Wajib Pajak bila menurut analisisnya, atau bukti yang ditemukan, ada penghasilan yang belum dilaporkan. Satu-satunya senjata untuk mematahkan koreksi tersebut merupakan hitam diatas putih yang dibuat fihak lain atau dokumen-dokumen lain yang mempunyai kekuatan hukum.

Mungkin kalau dalam istilah hukum namanya pembuktian terbalik. Wajib Pajak diharuskan membuktikan bahwa semua koreksi yang dilakukan oleh fiskus tidak benar. Berbeda dengan pembuktian yang dilakukan oleh pak Polisi. Penyidik di kepolisian atau kejaksaan, wajib bekerja keras untuk membuktikan bahwa tersangka benar-benar menjalankan tindak pidana. Tapi jangan lupa, penyidik PNS pajak juga bekerja dengan Tutorial yang sama. Hanya pemeriksa pajak yang bekerja sebaliknya.

Wajib Pajak sering datang ke kantor pajak dengan mengeluh begini dan begitu. Begitu juga saat melihat koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Ratusan Perkataan akan keluar dari fihak Wajib Pajak. Padahal Perkataan-Perkataan aja tidak cukup. Pemeriksa pajak banyak yang tidak percaya di Perkataan-Perkataan yang keluar, akan tetapi akan percaya di dokumen tertulis. Begitu juga dengan catatan di buku besar. Buku besar mungkin dianggap rekayasa Wajib Pajak, sehingga pemeriksa pajak akan meminta dokumen pendukung atas semua transaksi yang dicatat di buku besar. Apalagi bila sejak awal, Wajib Pajak telah menunjukkan sikap apriori atau tidak kooperatif (tidak terbuka, terkesan ada yang ditutupi atau tidak membagikan akses yang seluas-luasnya!). Wah, bertambahlah ketidakpercayaan si pemerika. Apakah ini juga sikap curiga? Bisa juga sih.

Norma Penghasilan
Norma penghitungan penghasilan neto merupakan salah satu Tutorial fiskus untuk menghitung pajak terutang. Untuk mendapatkan angka tertentu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membentuk suatu tim dengan tugas mengadakan penelitian bagus dari data eksternal DJP ataupun data yang dimiliki DJP mengenai kewajaran laba bersih suatu jenis usaha tertentu. Hasil tim inilah yang diangkat menjadi Keputusan Dirjen Pajak.

Niat awal norma penghitungan penghasilan neto sebenarnya membantu Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan untuk menentukan penghasilan neto. bila Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, otomatis tidak wajib lagi norma penghitungan Sebab kegiatan sebenarnya telah tergambar dalam pembukuan tersebut. Wajib Pajak yang (mampu) menyelenggarakan pembukuan tidak wajib memakai norma. bila ngotot mau pakai norma, misalnya dengan alasan omsetnya kurang dari Rp600.000.000,00, maka Wajib Pajak tersebut akan rugi Sebab yang namanya norma penghitungan tidak mengenal rugi. Selalu untung. Namanya juga norma penghitungan penghasilan neto bukan ke norma penghitungan kerugian neto.

Celakanya, terkadang-terkadang alias tidak selalu, pemeriksa pajak mengacu ke norma penghitungan tersebut untuk menentukan persentase laba bersihnya. bila masih dibawah norma, pemeriksa tersebut merasa kurang sreg. Lebih celaka lagi, pemeriksa internal (Itjen) Departemen Keuangan, yang memeriksa laporan dan kertas kerja Investigasi, terkadang-terkadang ikut-ikutan menjadikan norma penghitungan sebagai acuan. bila menemukan laporan Investigasi pajak yang persentase laba bersihnya dibawah norma, bersemangatlah dia mencari kesalahan yang dibuat.

Wah, repot yah! Kenapa wajib sama dengan norma penghitungan? Tapi anggap aja itu tidak ada Sebab prinsip yang wajib dipegang merupakan SPT diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam ilmu perpajakan, Hakikat akan mengalahkan formalitas. Orang Inggris bilang the substance-over-form. Kita wajib membayar pajak berdasarkan Hakikat sebenarnya.

Epilog
Tulisan ini hanya mengungkap sedikit perilaku pemeriksa pajak. Juga hanya membeberkan bebarapa alasan mengapa muncul koreksi fiskal oleh pemeriksa pajak. Banyak alasan mengapa dikoreksi. Sharing! Begitulah nawaitu tulisan ini. Semoga ada pembaca yang membagi pengalaman (lagi) dan membagi ilmu untuk menambah wawasan.

[Catatan : tulisan ini telah dimuat di Berita Pajak, No. 1515/Tahun XXXVI/15 Mei 2004]

Lahir Untuk Mencurigai Yang wajib Kita Ketahui


Sebelum membahas mengenai Lahir Untuk Mencurigai, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar lelucon warisan. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum digunakan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Hasil bumi di daerah tidak boleh dijual ke luar negeri, gunakan dulu untuk rakyat lebihnya baru dijual. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Lahir Untuk Mencurigai, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Lahir Untuk Mencurigai


Seorang dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai pernah melontarkan bahwa fiskus itu dilahirkan untuk mencurigai Wajib Pajak. Itulah, salah satu alasan mengapa “administrator” perpajakan memandang perlunya dibuat faktur pajak standar. Bukankah setiap transaksi legal mestinya terdapat faktur (komersial)? Kenapa faktur tersebut tidak cukup untuk pajak? Bukankah pembuatan faktur pajak standar akan menambah biaya yang di ujungnya akan memperkecil laba usaha?

akan tetapi kalau kita perhatikan, ternyata kecurigaan fiskus itu tidak hanya dalam masalah faktur pajak standar, akan tetapi hampir semua kegiatan Wajib Pajak. Apalagi bila yang diperhatikan merupakan tradisi yang turun-temurun dalam dikehidupan perilaku birokrat fiskus. Akan lebih terasa bila seorang Wajib Pajak sedang diperiksa oleh kantor pajak.

Saya tidak tahu, apakah sikap curiga juga tumbuh dalam tradisi general audit seperti yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik dan Badan Pemeriksa Keuangan. Apakah auditor Kantor Akuntan Publik akan merasa hebat bila menemukan penyimpangan keuangan auditee? Apakah temen-temen auditor Badan Pemeriksa Keuangan akan merasa berprestasi bila mendapatkan “penyimpangan prosedur”? bila jawabannya, iya, saya kira begitulah tradisi audit?

Fiskus merupakan satu-satunya institusi (apa pun nama institusi itu) yang berhak mengawasi kegiatan Wajib Pajak. Kalimat tanya yang pasti keluar dari fiskus saat menerima Surat Pemberitahuan merupakan ,”Apakah sudah benar?” Perkataan benar dalam hal ini Bisa diterjemahkan: tidak ada yang disembunyikan oleh Wajib Pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, fiskus setidaknya menjalankan dua hal, yaitu penelitian dan Investigasi. Penelitian merupakan kegiatan fiskus untuk menilai kelengkapan dan kebenaran perhitungan (tambah, kurang, untuk dan kali) Surat Pemberitahuan. Sedangkan Investigasi di dasarnya semua tindakan fiskus untuk menguji kepatuhan semua kewajiban perpajakan.

Bukan Pak Pos
Konon, saat “jaman jahiliah”, yang namanya Investigasi pajak mirip reserse menangkap penjahat. Pemeriksa pajak dipersenjatai pistol untuk jaga diri. Pemeriksa disebar untuk mengepung lokasi Wajib Pajak. dengan cara mendadak, pemeriksa mendatangi kantor dan pabrik, langsung mencari dokumen atau catatan apa pun yang berkaitan dengan kegiatan Wajib Pajak dan langsung mengambil dokumen tersebut.

Kini, jaman jahiliah telah lewat. Aparat pajak diharuskan mentaati tata Tutorial Investigasi pajak. Ada Copyright-Copyright Wajib Pajak yang tidak boleh dilanggar. Sebaliknya, dalam praktek, banyak Copyright-Copyright pemeriksa pajak yang dilupakan supaya tidak disebut arogan. Celakanya, saat pemeriksa pajak membongkar-bongkar arsip Wajib Pajak atau menyegel ruangan Wajib Pajak, selalu aja ada Sudut Pandang negatif. Padahal, kegiatan tersebut bagian dari Copyright pemeriksa pajak.

Semua Investigasi yang dilakukan oleh fiskus di Republik tercinta ini selalu dan wajib didahului dengan adanya Surat Perintah Investigasi Pajak (SP3). Bersamaan dengan keluarnya SP3, selalu disertai Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa yang bersangkutan sedang diperiksa. Walaupun bukan idealnya, akan tetapi di prakteknya, saat surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada Wajib Pajak, pemeriksa pajak telah menyiapkan Surat Peminjaman Dokumen.

Hari pertama Investigasi dihitung sejak SP3 dan Surat Pemberitahuan Investigasi diterima oleh Wajib Pajak. Untuk bukti bahwa pemeriksa telah mendatangi lokasi Wajib Pajak dan menyampaikan SP3, biasanya pemeriksa meminta tanda tangan dan stempel dari Wajib Pajak. Di Jakarta, banyak Wajib Pajak yang menganggap bahwa pemeriksa pajak sama dengan tukang pos yang mengantar surat. Cukup diterima oleh petugas penerima tamu atau Pak Satpam.

Padahal kedatangan pemeriksa pajak ke lokasi Wajib Pajak lebih dari sekedar menyampaikan SP3. Hal yang lebih penting merupakan menjalankan wawancara dengan direksi mengenai kegiatan Wajib Pajak dan menyaksikan langsung apa yang dilakukan Wajib Pajak bagus di kantor ataupun tempat produksi. Terakhir memeriksa arsip dokumen bagus di kantor atau gudang. Setelah itu baru meminjam dokumen-dokumen yang dianggap penting di saat itu juga.

Banyak direksi yang merasa enggan (mungkin takut?) menemui pemeriksa pajak. Petugas terpaksa berbohong bahwa direksi tidak ada ditempat walaupun sebelumnya mengatakan ada. Apa boleh buat! Wajib Pajak juga banyak yang keberatan dengan Investigasi lapangan dan peminjaman buku di saat itu juga. Biasanya Wajib Pajak meminta tempo dua atau tiga hari. Dan di kenyataannya Bisa hingga berminggu-minggu, dokumen belum juga nongol di kantor pajak.

untuk pemeriksa pajak, sikap tidak kooperatif tersebut akan menimbulkan kecurigaan. Kenapa direksi tidak mau diwawancarai? Kenapa peminjaman dokumen wajib menunggu waktu berhari-hari? Bukankah dokumen tinggal mengambil di gudang? Atau dokumen baru akan dibuat? Kalau demikian, bagaimana dengan SPT yang dibuatnya? Jangan-jangan...

Anggap rumah sendiri
Dulu, surat panggilan dikeluarkan untuk closing confrence. Sekarang ini, pemeriksa pajak Bisa mengeluarkan surat panggilan kepada Wajib Pajak hanya untuk meminta keterangan dari Wajib Pajak. akan tetapi, sebaiknya Wajib Pajak datang ke kantor pajak tidak wajib menunggu surat panggilan. Wajib Pajak Bisa datang ke kantor pajak kapan aja selama jam kerja. Terus terang aja, pemeriksa pajak akan suka bila sering ditengok Wajib Pajak Sebab informasi yang Bisa digali Bisa lebih banyak.

Tidak sedikit Wajib Pajak yang sulit datang ke kantor pajak. bila alasannya dibuat-buat atau terkesan dibuat-buat, pemeriksa pajak akan mempunyai citra yang jelek terhadap Wajib Pajak ini. Mungkin disebut “WP bandel” atau “WP susah”. Apa pun sebutannya, citra tersebut jelas akan merugikan Wajib Pajak sendiri. Pemeriksa pajak akan sewenang-wenang berdasarkan kewenangannya menjalankan penghitungan pajak. Mungkin akan menjalankan koreksi fiskal yang sebenarnya tidak wajib.

terkadang-terkadang pemeriksa pajak menjalankan koreksi fiskal Sebab ketidaktahuannya. Apa dan bagaimana core business Wajib Pajak? Mengapa dan untuk apa biaya “ini”? Benarkah ada pinjaman pemegang saham? Mengapa perusahaan tidak pernah membagikan deviden? Apa menfaat perusahaan untuk pemegang saham bila tidak ada deviden? Pertanyaan seperti itu hanya akan terjawab bila Wajib Pajak bertemu dengan pemeriksa pajak dan menerangkan hal sebenarnya.

Selain itu, banyak informasi yang sangat bermanfaat bila diketahui oleh pemeriksa akan tetapi tidak akan didapat dari buku besar. Walaupun informasi tersebut tidak terkait langsung dengan masalah penghasilan dan biaya. akan tetapi informasi mengenai “latar belakang” suatu pekerjaan, proyek, kebijakan direksi dan kegiatan sehari-hari pegawai akan membantu pemeriksa pajak dalam rangka memahami Hakikat Wajib Pajak dengan cara utuh. Jangan hingga Wajib Pajak dirugikan Sebab pemahaman pemeriksa pajak yang terbatas.

Contoh yang paling sering ditemukan dalam buku besar akan tetapi sering membingungkan pemeriksa merupakan jurnal penyesuaian akhir tahun. Wajib Pajak wajib menerangkan alasan dan perhitungan jurnal penyesuaian di akhir tahun. Coret-coretan untuk menghitung jurnal penyesuaian jangan hilang! Bisa jadi Sebab ketidakjelasan alasan dan perhitungan, jurnal penyesuaian tersebut dikoreksi (biasanya di biaya-biaya) sehingga biaya tersebut berkurang.

Contoh lain merupakan apa yang sering disebut sebagai “ayat silang”. Tanpa penjelasan, pemeriksa pajak mungkin akan bingung dari mana dan kemana saling silangnya. Apalagi bila ayat silang tersebut memakai “keranjang sampah”. Hal seperti ini ibarat mencampur beberapa warna cat kedalam satu ember. Hasilnya tentu warna lain. Sebab itu, alur ayat silang wajib jelas. Begitu juga perhitungan dibalik munculnya angka, jangan disembunyikan aja!

Pembuktian itu Penting
Konon, lagi, di jaman jahiliah, para pemeriksa pajak punya mantra sakti mandraguna. Semua Wajib Pajak tidak Bisa berkutik bila mantra itu sudah diucapkan. Mau tau mantra itu? Pokoknya! Perkataan “pokoknya” merupakan mantra pemeriksa pajak di jaman itu. Sebab masih official assessment maka semua pajak terutang dihitung oleh kantor pajak. Ditambah lagi budaya birokrat priyayi yang masih netes.

Sekarang Perkataan itu tidak ada artinya. Hilang kesaktiannya. Sebagai gantinya mungkin kalimat ini, “Buktikan dong!”. Pemeriksa pajak akan mengoreksi semua biaya yang tidak didukung dengan dokumen (ekstern) yang lengkap. Selain itu, pemeriksa akan menambah penghasilan Wajib Pajak bila menurut analisisnya, atau bukti yang ditemukan, ada penghasilan yang belum dilaporkan. Satu-satunya senjata untuk mematahkan koreksi tersebut merupakan hitam diatas putih yang dibuat fihak lain atau dokumen-dokumen lain yang mempunyai kekuatan hukum.

Mungkin kalau dalam istilah hukum namanya pembuktian terbalik. Wajib Pajak diharuskan membuktikan bahwa semua koreksi yang dilakukan oleh fiskus tidak benar. Berbeda dengan pembuktian yang dilakukan oleh pak Polisi. Penyidik di kepolisian atau kejaksaan, wajib bekerja keras untuk membuktikan bahwa tersangka benar-benar menjalankan tindak pidana. Tapi jangan lupa, penyidik PNS pajak juga bekerja dengan Tutorial yang sama. Hanya pemeriksa pajak yang bekerja sebaliknya.

Wajib Pajak sering datang ke kantor pajak dengan mengeluh begini dan begitu. Begitu juga saat melihat koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Ratusan Perkataan akan keluar dari fihak Wajib Pajak. Padahal Perkataan-Perkataan aja tidak cukup. Pemeriksa pajak banyak yang tidak percaya di Perkataan-Perkataan yang keluar, akan tetapi akan percaya di dokumen tertulis. Begitu juga dengan catatan di buku besar. Buku besar mungkin dianggap rekayasa Wajib Pajak, sehingga pemeriksa pajak akan meminta dokumen pendukung atas semua transaksi yang dicatat di buku besar. Apalagi bila sejak awal, Wajib Pajak telah menunjukkan sikap apriori atau tidak kooperatif (tidak terbuka, terkesan ada yang ditutupi atau tidak membagikan akses yang seluas-luasnya!). Wah, bertambahlah ketidakpercayaan si pemerika. Apakah ini juga sikap curiga? Bisa juga sih.

Norma Penghasilan
Norma penghitungan penghasilan neto merupakan salah satu Tutorial fiskus untuk menghitung pajak terutang. Untuk mendapatkan angka tertentu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membentuk suatu tim dengan tugas mengadakan penelitian bagus dari data eksternal DJP ataupun data yang dimiliki DJP mengenai kewajaran laba bersih suatu jenis usaha tertentu. Hasil tim inilah yang diangkat menjadi Keputusan Dirjen Pajak.

Niat awal norma penghitungan penghasilan neto sebenarnya membantu Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan untuk menentukan penghasilan neto. bila Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan, otomatis tidak wajib lagi norma penghitungan Sebab kegiatan sebenarnya telah tergambar dalam pembukuan tersebut. Wajib Pajak yang (mampu) menyelenggarakan pembukuan tidak wajib memakai norma. bila ngotot mau pakai norma, misalnya dengan alasan omsetnya kurang dari Rp600.000.000,00, maka Wajib Pajak tersebut akan rugi Sebab yang namanya norma penghitungan tidak mengenal rugi. Selalu untung. Namanya juga norma penghitungan penghasilan neto bukan ke norma penghitungan kerugian neto.

Celakanya, terkadang-terkadang alias tidak selalu, pemeriksa pajak mengacu ke norma penghitungan tersebut untuk menentukan persentase laba bersihnya. bila masih dibawah norma, pemeriksa tersebut merasa kurang sreg. Lebih celaka lagi, pemeriksa internal (Itjen) Departemen Keuangan, yang memeriksa laporan dan kertas kerja Investigasi, terkadang-terkadang ikut-ikutan menjadikan norma penghitungan sebagai acuan. bila menemukan laporan Investigasi pajak yang persentase laba bersihnya dibawah norma, bersemangatlah dia mencari kesalahan yang dibuat.

Wah, repot yah! Kenapa wajib sama dengan norma penghitungan? Tapi anggap aja itu tidak ada Sebab prinsip yang wajib dipegang merupakan SPT diisi sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam ilmu perpajakan, Hakikat akan mengalahkan formalitas. Orang Inggris bilang the substance-over-form. Kita wajib membayar pajak berdasarkan Hakikat sebenarnya.

Epilog
Tulisan ini hanya mengungkap sedikit perilaku pemeriksa pajak. Juga hanya membeberkan bebarapa alasan mengapa muncul koreksi fiskal oleh pemeriksa pajak. Banyak alasan mengapa dikoreksi. Sharing! Begitulah nawaitu tulisan ini. Semoga ada pembaca yang membagi pengalaman (lagi) dan membagi ilmu untuk menambah wawasan.

[Catatan : tulisan ini telah dimuat di Berita Pajak, No. 1515/Tahun XXXVI/15 Mei 2004]
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo