PRINSIP ASIMETRIS Yang wajib Kita Tau - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Artikel PRINSIP ASIMETRIS ini khusus disajikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Betul sekali Indonesia pernah menemui masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Produksi dan gunakan alat alat dan teknologi buatan sendiri. Rakyat kita sudah mampu dan cukup pintar. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas PRINSIP ASIMETRIS, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

PRINSIP ASIMETRIS


di permulaan krisis monoter, dunia perbankan sangat terguncang. Perbankan ibarat seseorang yang berdiri ditengah lautan yang sedang diterjang badai sunami. Masalah timbul dari delapan penjuru arah. Selain wajib bersiap-siap yang uang tunai yang banyak untuk mengantisipasi penarikan uang nasabah besar-besaran (rush) juga yang paling memukul merupakan jatuhnya nilai kurs rupiah terhadap valuta asing. Ditambah lagi sebagian besar debitur menemui kesulitan likuditas. Akibatnya, banyak pinjaman bank yang macet. Tidak dibayar berbulan-bulan bahkan setelah itu bertahun-tahun.

untuk institusi bank, kredit macet merupakan masalah besar Sebab usaha inti perbankan merupakan perkreditan. bila hanya satu atau dua bank yang macet, mungkin dalam batas toleransi bank. akan tetapi di masa krisis, hanya sebagian kecil aja yang tidak macet. Semua orang bahkan sudah memaklumi kondisi ini Sebab krisis ini bukan hanya berlaku untuk satu atau dua bank akan tetapi semua bank di seluruh Indonesia bahkan regional Asia.

BASIS KAS
Kredit macet untuk perbankan bukan hanya masalah likuiditas akan tetapi juga masalah perpajakan. Setiap bulan, mungkin bank membukukan penghasilan bunga yang tidak diterimanya. hingga dengan akhir tahun, penghasilan bunga bank mungkin aja besar akan tetapi penghasilan bunga tersebut hanya menjadi piutang yang belum tentu dibayar oleh bank. Bahkan sangat mungkin tidak pernah dibayar. Boro-boro bayar bunga, Bisa kembali inti pinjaman aja sudah bagus.

Sebab menganut basis akrual, maka sudah menjadi kewajiban bank untuk mengakui adanya penghasilan bunga. Dari segi kelaziman akuntansi, memang begitulah seharusnya. Diatas kertas, tentu aja penghasilan bunga tersebut membuat laporan keuangan terlihat manis. Dari laporan keuangan terlihat, penghasilan besar akan tetapi sesungguhnya tidak punya duit. Semua penghasilan menumput di pos piutang yang belum tentu diterima.

Kondisi ini dari segi perpajakan tentu aja merugikan perbankan Sebab bank wajib membayar pajak yang besar atas penghasilan yang sangat mungkin tidak pernah diterima. Sedangkan sistem perpajakan tidak Bisa mengakomodasi koreksi penghasilan tahun lalu. Bukankan pajak penghasilan yang sudah dibayar tahun lalu tidak Bisa direstitusi tahun ini dengan alasan kesalahan membukukan penghasilan? Restitusi pajak penghasilan hanya Bisa dilakukan di tahun pajak yang bersangkutan dengan alasan kelebihan bayar. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya.

Untuk menghindari itu, satu-satunya Tutorial merupakan merubah metode pencatatan penghasilan bunga dari basis akrual ke basis kas. Penghasilan bunga wajib diakui bila bank benar-benar menerima uang dari nasabah. Selama nasabah masih nunggak hutang bunganya, bank tidak akan membukukan penghasilan bunga. Dengan demikian, bank mengakui adanya penghasilan saat penghasilan tersebut benar-benar diterima.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 satu-satunya obat jitu untuk dunia perbankan saat itu. Menurut Kep Dirjen tersebut, bank baru membukukan penghasilan bunga dari kredit non-performing saat bank menerima bunga (nasabah melunasi kewajibannya). Penerapan penghasilan bunga basis kas ini tentu aja tidak berlaku untuk kredit yang lancar Sebab basis kas hanya Bisa diterapkan di kredit non-performing. Sedangkan yang dimaksud kredit non-performing merupakan kredit yang digolongkan kurang lancar, diragukan dan macet.

PRINSIP ASIMETRIS
Kep Dirjen diatas hanya mengatur mengenai pengakuan penghasilan bunga untuk perbankan, pemberi penjaman. Bagaimana dengan nasabah bank yang kebetulan kreditnya non-performing? Sebagian berpendapat bahwa nasabah bank tidak Bisa memakai basis kas Sebab Kep Dirjen tersebut hanya diperuntukkan untuk perbankan. Sedangkan nasabah bank atau non perbankan tidak ada Anggaran pengecualian untuk memakai basis kas. Jadi tetap wajib memakai basis akrual.

Sepintas pendapat tersebut kelihatan benar. akan tetapi teori perpajakan memberitahukan bahwa perpajakan menganut prinsip asimetris. Prinsip ini tentu aja berlaku sejak dahulu kala hingga sekarang. Tidak terbatas hanya waktu krisis atau saat tertentu aja.

Mungkin dalam bahasa sehari-hari prinsip asimetris ini maksudna berlawanan. Pengakuan penghasilan untuk Wajib Pajak penerima dan pengakuan biaya untuk Wajib Pajak pembayar. Contohnya seperti Pasal 21 UU PPh. Pasal 21 UU PPh menganut prinsip asimetris. bila majikan mengakui sebagai biaya, maka buruh wajib mengakui penghasilan. Semua pemberian yang diakui penghasilan karyawan dan dihitung sebagai objek PPh Pasal 21 Bisa diakui sebagai pengurang penghasilan (biaya) untuk majikan.

Contoh klasik lain di Pasal 23 mengenai bunga. Wajib Pajak “A” yang membagikan pinjaman kepada Wajib Pajak “B” untuk keperluan modal kerja atau investasi lainnya. Sebab Wajib Pajak “A” dan Wajib Pajak “B” mempunyai hubungan istimewa, misalnya pemiliknya sama atau satu grup, maka pinjaman seperti itu biasanya tanpa bunga. akan tetapi dalam bisnis yang wajar, tidak ada pinjaman tanpa bunga. Jadi bila dikembalikan kepada kewajaran bisnis di umumnya, transaksi seperti itu semestinya Wajib Pajak “B” wajib membagikan bunga kepada Wajib Pajak “A”. Sebab itu, bila diperiksa oleh pemeriksa pajak, transaksi tersebut wajib memperhitungkan bunga wajar di pasar atau bunga bank di umumnya. bila yang diperiksa Wajib Pajak “B” maka pemeriksa akan membuat koreksi negatif untuk biaya bunga, dan koreksi positif untuk objek PPh Pasal 23 atas biaya bunga. Sebaliknya, Wajib Pajak “A” wajib membukukan adanya penghasilan bunga dari Wajib Pajak “B”.

bila prinsip asimetris diterapkan dalam kasus kredit non-performing, maka semua Wajib Pajak yang mempunyai kredit non-performing dianggap tidak ada transaksi. Penerima bunga (bank) tidak mengakui adanya penghasilan bunga dan pembayar bunga (nasabah bank) tidak mengakui adanya biaya bunga. Keduanya memakai basis kas! Penghasilan bunga dan biaya bunga baru diakui dan dicatat bila nasabah bank benar-benar melunasi kewajibannya.

PERLAKUAN SETARA
Pemberlakuan basis kas seharusnya jangan dibaca hanya untuk Wajib Pajak dalam negeri aja. Seandainya Wajib Pajak dalam negeri memakai basis kas, maka Wajib Pajak luar negeri pun wajib memakai basis kas atau diperlakukan seperti memakai basis kas. Wajib Pajak yang menunggak kredit dengan bank di Luar Negeri maka kredit tersebut statusnya kredit non-performing!

Sebab berstatus kredit non-performing maka kewajiban bunga Wajib Pajak Dalam Negeri belum dicatat sebagai biaya bunga hingga Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut benar-benar membayar kewajibannya kepada bank di Luar Negeri. Tentunya kita tidak Bisa mewajibkan kepada bank di Luar Negeri wajib memakai basis kas Sebab kita tidak mempunyai juridiksi kepada bank di Luar Negeri. Masing-masing negara mempunyai Anggaran masing-masing.

Mengapa kita wajib memperlakukan basis kas untuk kasus ini? Sebenarnya kita tidak memperlakukan basis kas kepada Wajib Pajak Luar Negari akan tetapi kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Debitur di Indonesia wajib mendapat perlakuan yang sama! Istilah versi orang London-nya equal treatment. Ada juga yang bilang equal treatment for equal. Debitur di Indonesia dalam keadaan yang sama, tidak memandang apakah krediturnya di Dalam Negeri atau di Luar Negeri. Sebab dalam keadaan sama, maka wajib diperlakukan sama, tidak memandang apakah bank pemberi pinjaman di Dalam Negeri atau bank dari Luar Negeri.

Penerapan prinsip ini mengakibatkan perlakuan basis kas untuk PPh Pasal 26 atas objek bunga yang diterima bank Luar Negeri! Jadi, PPh Pasal 26 atas bunga baru Bisa terutang bila Wajib Pajak membayar bunga. Tentu aja untuk Wajib Pajak yang kreditnya lancar tidak Bisa menerapkan basis kas.

KESIMPULAN
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 mengenai pemberlakuan basis kas untuk kredit non-performing wajib menyeluruh berdasarkan prinsip asimetris dan perlakuan setara.

[catatan : tulisan ini telah dimuat di Artikel Perpajakan portal intranet DJP]

PRINSIP ASIMETRIS Yang wajib Kita Tau


Artikel PRINSIP ASIMETRIS ini khusus disajikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Betul sekali Indonesia pernah menemui masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Produksi dan gunakan alat alat dan teknologi buatan sendiri. Rakyat kita sudah mampu dan cukup pintar. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas PRINSIP ASIMETRIS, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

PRINSIP ASIMETRIS


di permulaan krisis monoter, dunia perbankan sangat terguncang. Perbankan ibarat seseorang yang berdiri ditengah lautan yang sedang diterjang badai sunami. Masalah timbul dari delapan penjuru arah. Selain wajib bersiap-siap yang uang tunai yang banyak untuk mengantisipasi penarikan uang nasabah besar-besaran (rush) juga yang paling memukul merupakan jatuhnya nilai kurs rupiah terhadap valuta asing. Ditambah lagi sebagian besar debitur menemui kesulitan likuditas. Akibatnya, banyak pinjaman bank yang macet. Tidak dibayar berbulan-bulan bahkan setelah itu bertahun-tahun.

untuk institusi bank, kredit macet merupakan masalah besar Sebab usaha inti perbankan merupakan perkreditan. bila hanya satu atau dua bank yang macet, mungkin dalam batas toleransi bank. akan tetapi di masa krisis, hanya sebagian kecil aja yang tidak macet. Semua orang bahkan sudah memaklumi kondisi ini Sebab krisis ini bukan hanya berlaku untuk satu atau dua bank akan tetapi semua bank di seluruh Indonesia bahkan regional Asia.

BASIS KAS
Kredit macet untuk perbankan bukan hanya masalah likuiditas akan tetapi juga masalah perpajakan. Setiap bulan, mungkin bank membukukan penghasilan bunga yang tidak diterimanya. hingga dengan akhir tahun, penghasilan bunga bank mungkin aja besar akan tetapi penghasilan bunga tersebut hanya menjadi piutang yang belum tentu dibayar oleh bank. Bahkan sangat mungkin tidak pernah dibayar. Boro-boro bayar bunga, Bisa kembali inti pinjaman aja sudah bagus.

Sebab menganut basis akrual, maka sudah menjadi kewajiban bank untuk mengakui adanya penghasilan bunga. Dari segi kelaziman akuntansi, memang begitulah seharusnya. Diatas kertas, tentu aja penghasilan bunga tersebut membuat laporan keuangan terlihat manis. Dari laporan keuangan terlihat, penghasilan besar akan tetapi sesungguhnya tidak punya duit. Semua penghasilan menumput di pos piutang yang belum tentu diterima.

Kondisi ini dari segi perpajakan tentu aja merugikan perbankan Sebab bank wajib membayar pajak yang besar atas penghasilan yang sangat mungkin tidak pernah diterima. Sedangkan sistem perpajakan tidak Bisa mengakomodasi koreksi penghasilan tahun lalu. Bukankan pajak penghasilan yang sudah dibayar tahun lalu tidak Bisa direstitusi tahun ini dengan alasan kesalahan membukukan penghasilan? Restitusi pajak penghasilan hanya Bisa dilakukan di tahun pajak yang bersangkutan dengan alasan kelebihan bayar. Pajak yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya.

Untuk menghindari itu, satu-satunya Tutorial merupakan merubah metode pencatatan penghasilan bunga dari basis akrual ke basis kas. Penghasilan bunga wajib diakui bila bank benar-benar menerima uang dari nasabah. Selama nasabah masih nunggak hutang bunganya, bank tidak akan membukukan penghasilan bunga. Dengan demikian, bank mengakui adanya penghasilan saat penghasilan tersebut benar-benar diterima.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 satu-satunya obat jitu untuk dunia perbankan saat itu. Menurut Kep Dirjen tersebut, bank baru membukukan penghasilan bunga dari kredit non-performing saat bank menerima bunga (nasabah melunasi kewajibannya). Penerapan penghasilan bunga basis kas ini tentu aja tidak berlaku untuk kredit yang lancar Sebab basis kas hanya Bisa diterapkan di kredit non-performing. Sedangkan yang dimaksud kredit non-performing merupakan kredit yang digolongkan kurang lancar, diragukan dan macet.

PRINSIP ASIMETRIS
Kep Dirjen diatas hanya mengatur mengenai pengakuan penghasilan bunga untuk perbankan, pemberi penjaman. Bagaimana dengan nasabah bank yang kebetulan kreditnya non-performing? Sebagian berpendapat bahwa nasabah bank tidak Bisa memakai basis kas Sebab Kep Dirjen tersebut hanya diperuntukkan untuk perbankan. Sedangkan nasabah bank atau non perbankan tidak ada Anggaran pengecualian untuk memakai basis kas. Jadi tetap wajib memakai basis akrual.

Sepintas pendapat tersebut kelihatan benar. akan tetapi teori perpajakan memberitahukan bahwa perpajakan menganut prinsip asimetris. Prinsip ini tentu aja berlaku sejak dahulu kala hingga sekarang. Tidak terbatas hanya waktu krisis atau saat tertentu aja.

Mungkin dalam bahasa sehari-hari prinsip asimetris ini maksudna berlawanan. Pengakuan penghasilan untuk Wajib Pajak penerima dan pengakuan biaya untuk Wajib Pajak pembayar. Contohnya seperti Pasal 21 UU PPh. Pasal 21 UU PPh menganut prinsip asimetris. bila majikan mengakui sebagai biaya, maka buruh wajib mengakui penghasilan. Semua pemberian yang diakui penghasilan karyawan dan dihitung sebagai objek PPh Pasal 21 Bisa diakui sebagai pengurang penghasilan (biaya) untuk majikan.

Contoh klasik lain di Pasal 23 mengenai bunga. Wajib Pajak “A” yang membagikan pinjaman kepada Wajib Pajak “B” untuk keperluan modal kerja atau investasi lainnya. Sebab Wajib Pajak “A” dan Wajib Pajak “B” mempunyai hubungan istimewa, misalnya pemiliknya sama atau satu grup, maka pinjaman seperti itu biasanya tanpa bunga. akan tetapi dalam bisnis yang wajar, tidak ada pinjaman tanpa bunga. Jadi bila dikembalikan kepada kewajaran bisnis di umumnya, transaksi seperti itu semestinya Wajib Pajak “B” wajib membagikan bunga kepada Wajib Pajak “A”. Sebab itu, bila diperiksa oleh pemeriksa pajak, transaksi tersebut wajib memperhitungkan bunga wajar di pasar atau bunga bank di umumnya. bila yang diperiksa Wajib Pajak “B” maka pemeriksa akan membuat koreksi negatif untuk biaya bunga, dan koreksi positif untuk objek PPh Pasal 23 atas biaya bunga. Sebaliknya, Wajib Pajak “A” wajib membukukan adanya penghasilan bunga dari Wajib Pajak “B”.

bila prinsip asimetris diterapkan dalam kasus kredit non-performing, maka semua Wajib Pajak yang mempunyai kredit non-performing dianggap tidak ada transaksi. Penerima bunga (bank) tidak mengakui adanya penghasilan bunga dan pembayar bunga (nasabah bank) tidak mengakui adanya biaya bunga. Keduanya memakai basis kas! Penghasilan bunga dan biaya bunga baru diakui dan dicatat bila nasabah bank benar-benar melunasi kewajibannya.

PERLAKUAN SETARA
Pemberlakuan basis kas seharusnya jangan dibaca hanya untuk Wajib Pajak dalam negeri aja. Seandainya Wajib Pajak dalam negeri memakai basis kas, maka Wajib Pajak luar negeri pun wajib memakai basis kas atau diperlakukan seperti memakai basis kas. Wajib Pajak yang menunggak kredit dengan bank di Luar Negeri maka kredit tersebut statusnya kredit non-performing!

Sebab berstatus kredit non-performing maka kewajiban bunga Wajib Pajak Dalam Negeri belum dicatat sebagai biaya bunga hingga Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut benar-benar membayar kewajibannya kepada bank di Luar Negeri. Tentunya kita tidak Bisa mewajibkan kepada bank di Luar Negeri wajib memakai basis kas Sebab kita tidak mempunyai juridiksi kepada bank di Luar Negeri. Masing-masing negara mempunyai Anggaran masing-masing.

Mengapa kita wajib memperlakukan basis kas untuk kasus ini? Sebenarnya kita tidak memperlakukan basis kas kepada Wajib Pajak Luar Negari akan tetapi kepada Wajib Pajak Dalam Negeri. Debitur di Indonesia wajib mendapat perlakuan yang sama! Istilah versi orang London-nya equal treatment. Ada juga yang bilang equal treatment for equal. Debitur di Indonesia dalam keadaan yang sama, tidak memandang apakah krediturnya di Dalam Negeri atau di Luar Negeri. Sebab dalam keadaan sama, maka wajib diperlakukan sama, tidak memandang apakah bank pemberi pinjaman di Dalam Negeri atau bank dari Luar Negeri.

Penerapan prinsip ini mengakibatkan perlakuan basis kas untuk PPh Pasal 26 atas objek bunga yang diterima bank Luar Negeri! Jadi, PPh Pasal 26 atas bunga baru Bisa terutang bila Wajib Pajak membayar bunga. Tentu aja untuk Wajib Pajak yang kreditnya lancar tidak Bisa menerapkan basis kas.

KESIMPULAN
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-273/PJ./1998 mengenai pemberlakuan basis kas untuk kredit non-performing wajib menyeluruh berdasarkan prinsip asimetris dan perlakuan setara.

[catatan : tulisan ini telah dimuat di Artikel Perpajakan portal intranet DJP]
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo