
Sebelum membahas mengenai Keberatan dan Banding, ada baiknya untuk menyimak hal berikut ini : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya tapi belum dimanfaatkan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. untuk yg tidak mau sekolah atau yg tidak menyekolahkan anaknya wajib dihukum seberat beratnya. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Keberatan dan Banding, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.
Keberatan dan Banding
Keberatan merupakan Tips yang ditempuh oleh Wajib Pajak bila merasa tidak puas atau kurang puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan / pemungutan oleh pihak ketiga. Saya yakin, sebagian besar Wajib Pajak menjalankan proses keberatan Sebab surat ketetapan pajak (skp) yang dianggap tidak adil. Dan surat ketetapan pajak itu biasanya diterbitkan sebagai produk dari Investigasi pajak. Ya, keberatan umumnya didahului dengan proses Investigasi.
Seorang pemeriksa pajak tentu banyak berbeda pendapat dengan Wajib Pajak mengenai perlakuan perpajakan atas suatu transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. bila dalam pembahasan dengan Wajib Pajak tidak menemukan titik temu, maka tidak jarang pemeriksa pajak mengeluarkan jurus “pokoknya”. Selama argumentasi pemeriksa pajak mempunyai landasan yuridis, selaras dengan “akal sehat”, maka pendapat pemeriksa Bisa dipertahankan dan hakim banding-lah yang menentukan benar tidaknya pendapat pemeriksa pajak.
Prosedur Investigasi sekarang dibuat lebih merepotkan pemeriksa pajak sekaligus lebih memperkuat produk Investigasi. Saat menemukan temuan, pemeriksa pajak Bisa membicarakan hasil temuan tersebut dengan Wajib Pajak. setelah itu, temuan itu dituangkan dengan cara formal dalam surat pemberitahuan hasil Investigasi (SPHP). Berdasarkan SPHP tersebut Wajib Pajak setelah itu membagikan tanggapan SPHP. Berdasarkan tanggapan SPHP, pemeriksa pajak dengan media Surat Panggilan memanggil Wajib Pajak untuk mendiskusikan hasil Investigasi. akan tetapi bila temuan sudah didiskusikan terlebih dahulu sebelum SPHP keluar, maka pembahasan hasil Investigasi Bisa lebih singkat atau Bisa jadi langsung ke penandatangani berita acara hasil Investigasi.
Bersama dengan tanggapan SPHP, Wajib Pajak Bisa membagikan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk membantah pendapat pemeriksa. Setelah itu, di saat panggilan pembahasan (setelah diterima Surat Panggilan), Wajib Pajak juga Bisa melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan. Setelah itu, dokumen yang digunakan untuk membantah pendapat pemeriksa Bisa tidak bermanfaat sama sekali Sebab sejak jamannya pa Pung (Dirjen Pajak Hadi Purnomo), Direktorat Jenderal Pajak mempunyai klausul “dokumen yang tidak digunakan di saat Investigasi, tidak Bisa digunakan di saat keberatan dan banding”.
Klausul tersebut dibuat Sebab banyaknya “dokumen baru” yang muncul di saat banding di Pengadilan Pajak (dulu masih BPSP), padahal di saat Investigasi dokumen tersebut tidak menjadi pertimbangan Wajib Pajak. Bahkan banyak dokumen Wajib Pajak yang di saat Investigasi diminta, bahkan dengan surat permintaan dokumen, dokumen yang diminta tidak “nongol”, akan tetapi di saat banding tuh dokumen menjadi lengkap.
di kasus lain, banyak produk hasil Investigasi dibuat dengan “penetapan dengan cara jabatan”. Ini merupakan jurus terakhir dari Investigasi pajak Sebab tidak adanya dokumen yang Bisa dijadikan dasar untuk menghitung besarnya pajak terutang. Penetapan dengan cara jabatan merupakan salah satu diskresi Investigasi pajak saat dokumen yang diminta tidak ada. Dulu, banyak kasus yang ditetapkan dengan cara jabatan, Wajib Pajak keberatan, setelah itu banding di Pengadilan Pajak, dan “sim salabim” dokumen yang dulu pernah diminta oleh pemeriksa pajak, di waktu Investigasi di banding, dokumen menjadi lengkap! Ini Hakikat.
TIM PEMBAHAS
Sejak awal tahun 2007, proses Investigasi ditekankan di adanya Tim Pembahas. Tim ini Bisa berada di tingkat KPP Pratama atau Madya atau di Kanwil. Tim ini diposisikan sebagai Tim yang independen untuk menguji pendapat pemeriksa pajak.
Wajib Pajak yang masih belum puas di saat pembahasan hasil Investigasi, “sesaat” setelah berita acara hasil Investigasi Bisa mengajukan pembahasan di Tim Pembahas UP3. Permintaan Wajib Pajak itu disertai dengan uraian ketidakcocokan antara pendapat pemeriksa pajak dan pendapat Wajib Pajak. Tim Pembahas UP3 (Karikpa atau KPP) setelah itu membahas permintaan tersebut dan dituangkan dalam dokumen yang bernama Risalah Tim Pembahas UP3.
bila hasil pembahasan Tim Pembahas UP3 masih belum memuaskan untuk Wajib Pajak maka masih ada kesempatan terakhir sebelum menjadi skp, yaitu permintaan Wajib Pajak untuk pembahasan oleh Tim Pembahas Kanwil. Permintaan tersebut mengharuskan Wajib Pajak menguraikan perbedaan pendapat antara pendapat Wajib Pajak, pendapat pemeriksa pajak, dan pendapat Tim Pembahas UP3. Masing-masing inti masalah wajib diurai dari masing-masing pihak.
Pembahasan Tim Pembahas Kanwil setelah itu dituangkan dalam Risalah Tim Pembahas Kanwil. Setelah ada dokumen tersebut, tertutup kesempatan Wajib Pajak untuk menyanggah hasil Investigasi. Dan hasil Investigasi setelah itu akan dituangkan dalam surat ketetapan pajak (skp).
di prakteknya, Bisa jadi Tim Pembahas membenarkan pendapat Wajib Pajak. Hal ini tergantung argumentasi dan kelengkapan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan di saat pembahasan sebelumnya. bila ini terjadi maka pendapat pemeriksa tentu tidak Bisa dipakai dan tidak akan diteruskan menjadi surat ketetapan pajak. akan tetapi Bisa juga Tim Pembahas UP3 dan Tim Pembahas Kanwil membenarkan pendapat pemeriksa pajak. bila ini yang terjadi, Wajib Pajak masih mempunyai dua kesempatan, yaitu proses keberatan dan banding. akan tetapi wajib diingat, proses keberatan dan banding tidak menunda proses penagihan!
Berdasarkan dokumen Risalah Tim Pembahas, pemeriksa pajak setelah itu membuat nota penghitungan pajak sebagai dasar pembuatan surat ketetapan pajak. Nota penghitungan pajak dibuat paling lama sebulan sejak tanggal SPHP. Jadi, proses permintaan dan pembahasan Tim Pembahas bagus Tim Pembahas UP3 ataupun Tim Pembahas Kanwil, waktunya kurang dari satu bulan.
bila dibagi-untuk, alokasi waktu sejak tanggal SPHP diterima Wajib Pajak merupakan sebagai berikut: seminggu sejak diterima SPHP, pengumpulan dokumen tambahan dan penyusunan surat sanggahan SPHP. Seminggu setelah itu pembahasan SPHP antara pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak. Seminggu setelah itu, permintaan pembahasan dan pembahasan oleh Tim Pembahas UP3. Seminggu setelah itu, permintaan pembahasan dan pembahasan oleh Tim Pembahas Kanwil. Oh, ya, Wajib Pajak tidak dilibatkan di saat pembahasan oleh Tim Pembahas. akan tetapi Wajib Pajak Bisa meminta salinan dokumen Risalah Tim Pembahas ke pemeriksa pajak.
Inilah prosedur Investigasi yang saya maksud merepotkan pemeriksa pajak akan tetapi sekaligus memperkuat produk Investigasi. Dengan adanya Tim Pembahas, maka ada pendapat yang dianggap independen yang menilai pendapat pemeriksa pajak. bila hasil Tim Pembahas sama dengan pendapat pemeriksa pajak maka di saat keberatan dan banding pemeriksa lebih kuat.
KEBERATAN
Menurut Pasal 25 ayat (1) UU KUP, keberatan Bisa diajukan atas :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
Bagaimana dengan STP atau surat tagihan pajak, apakah Bisa keberatan? Banyak Wajib Pajak yang merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh petugas pajak dengan STP yang menurut Wajib Pajak tidak adil. akan tetapi, hingga dengan tahun 2007, Wajib Pajak tidak Bisa mengajukan keberatan atas STP Sebab UU KUP tidak menyebutkan STP sebagai objek keberatan. Artinya, Wajib Pajak hanya Bisa membayar STP yang telah diterbitkan oleh petugas pajak!
Bagaimana membuat surat keberatan?
a. Satu Keberatan wajib diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak;
b. Diajukan dengan cara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. Wajib menyatakan alasan-alasan dengan cara jelas;
d. Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak.
Satu surat untuk satu skp. bila hasil Investigasi ada lima skp, misalnya : SKPKB PPh Badan, SKPKB PPh Pasal 21, SKPKB PPh Pasal 23, SKPKB PPh Pasal 4(2), dan SKPKB PPN, maka surat keberatan wajib dibuat lima buah. Tidak boleh satu surat untuk keberatan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23, misalnya.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (3) UU KUP, “Keberatan wajib diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak Bisa menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak Bisa dipenuhi Sebab keadaan di luar kekuasaannya.”
bila lewat tiga bulan, surat keberatan tidak dianggap Sebab tidak memenuhi syarat formal. Ini perintah UU KUP! akan tetapi UU KUP juga membolehkan jangka waktu lebih dari tiga bulan bila “dalam keadaan diluar kekuasaannya.” Inilah klausul yang sering dimanfaatkan oleh Wajib Pajak. Silakan pembaca menterjemahkan sendiri klausul “keadaan diluar kekuasaannya”.
Di kantor modern, keputusan keberatan dilakukan oleh kanwil dan diteliti oleh pejabat penelaah keberatan. Ini merupakan profesi baru di DJP sendiri. Pejabat penelaah keberatan hanya ada di kanwil, sama halnya seperti AR yang hanya ada di KPP. Walaupun demikian, surat keberatan tetap dilayangkan ke KPP, bukan ke kanwil. Nanti KPP yang akan meneruskan surat keberatan ke kanwil.
Sebelum ditetapkan hasil Investigasi, biasanya di proses keberatan pemeriksa pajak juga masih dimintai jawaban keberatan dan salinan kertas kerja Investigasi. Artinya, penelaah keberatan nanti akan membanding-bandingkan pendapat Wajib Pajak dan pendapat pemeriksa pajak. Walaupun penelaah keberatan merupakan pegawai DJP, akan tetapi sebenarnya penelaah keberatan berposisi sebagai hakim yang memutuskan antara posisi Wajib Pajak dan posisi pemeriksa pajak.
BANDING
Dua belas bulan sejak surat keberatan diterima oleh KPP, maka kantor pajak wajib mengeluarkan Surat Keputusan Keberatan (SK Keberatan). Jangka waktu 12 bulan tersebut ditetapkan oleh Pasal 26 ayat (1) UU KUP. Sebab itu, jangka waktu 12 bulan merupakan jangka waktu paling lama. Sebelum 12 bulan, Bisa jadi SK Keberatan keluar.
SK Keberatan tidak Bisa menjadi Wajib Pajak puas. Masih ada satu kesempatan lagi untuk Wajib Pajak untuk menguji pendapatnya, yaitu melalui proses banding ke Pengadilan Pajak. Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP, “Wajib Pajak Bisa mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” Ini Forum yang tidak mempunyai hirarki dengan DJP. Lebih independen dan insya allah hakim yang memutuskannya lebih kredibel daripada pejabat penelaah keberatan di kanwil.
Tata Tips pengajuan banding sebagai berikut:
- Surat banding ditulis dalam bahasa Indonesia;
- Dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan yang dibanding diterima;
- Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding;
- Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
- Dilampiri salinan Surat Keputusan yang dibanding;
- Jumlah pajak yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%.
Dalam sejarah banding, bila dibuatkan prosentase Putusan Banding, maka sebagian besar Putusan Banding berpihak ke Wajib Pajak. Berdasarkan penelitian DJP sendiri, keputusan banding yang membatalkan surat ketetapan pajak dikarenakan lemahnya proses Investigasi yang dilakukan oleh pemeriksa pajak. Artinya, banyak Investigasi pajak yang menjalankan Investigasi tanpa dasar yuridis dan argumentasi yang kuat. Inilah kesempatan Wajib Pajak, walaupun untuk mencapai banding ini wajib melalui jalan yang berliku :-).
Selamat menempuh banding.