Pilih Pidana Pajak atau skp? Yang wajib Kita Tau - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Artikel Pilih Pidana Pajak atau skp? ini khusus memang untuk kita, tapi sebelum membahasnya, ada baiknya untuk menyimak hal berikut ini : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum digunakan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Berikan otonomi seluas luasnya tiap daerah untuk mengatur dan mengelola sumberdaya sendiri. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pilih Pidana Pajak atau skp?, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Pilih Pidana Pajak atau skp?


saat penulis mengikuti Pendidikan Penyidik PNS Pajak di Pusdik Resintel Polri, seorang perwira polisi yang menjadi instruktur agak terheran-heran dengan jawaban peserta yang berpendapat bahwa proses penyidikan Bisa dihentikan bila Wajib Pajak telah membayar pajak terutang ditambah sanksi. Padahal untuk tindak pidana korupsi, misalnya, proses penyidikan wajib tetap berlanjut hingga pengadilan walaupun tersangka telah mengembalikan uang yang dicuri. Ingat Buloggate tahun lalu yang menghebohkan negeri ini. Walaupun sang pelaku telah mengembalikan uang yang diambil (konon kabarnya disimpan di lemari di kamar rumahnya) hakim tetap menjatuhkan vonis pidana kepada para pelaku.

Perbuatan korupsi merupakan satu sisi dan mengembalikan uang yang dicuri merupakan sisi lain. Tidak Bisa disatukan. Tindak pidana korupsi telah dilakukan dan waktu tidak Bisa direwind supaya Bisa mengubah sejarah. Sebab itu, tindak pidana tetap Bisa diproses ke pengadilan dan hakim Bisa, bila terbukti, menghukum pelaku. Sedangkan mengembalikan uang merupakan perbuatan lain. Hanya aja perbuatan mengembalikan uang akan menjadi perhatian hakim sebagai hal yang meringankan.

Proses penyidikan biasanya Bisa dihentikan bila :
[1] Tidak terdapat cukup bukti;
[2] Nebis in idem
[3] Daluarsa
[4] Tersangka meninggal dunia
akan tetapi, tindak pidana pajak punya kekekhususan. Ada satu yang tidak ditemukan di penyidikan tindak pidana umum. Penyidikan pajak Bisa dihentikan bila tersangka melunasi pajak terutang ditambah sanksi empat kali. Ketentuan unik ini diatur di Pasal 44B UU KUP.

Ingat, besarnya pajak terutang disini berdasarkan perhitungan kantor pajak semata. Wajib Pajak tidak Bisa mengajukan keberatan atas besarnya jumlah pajak yang terutang, Sebab untuk negosiasi besarnya pajak terutang ada jalur tersendiri. Proses negosiasi dengan cara hukum merupakan dengan Forum keberatan, banding ke Pengadilan Pajak setelah itu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Sedangkan jalur penyidikan pajak tidak melalui Forum-Forum tersebut. Tulisan ini dimaksudkan untuk membagikan “sekilas pandang” jalur pidana pajak.

Tindak Pidana Pajak
Seorang kepala BPKP [saat itu] yang juga menjadi dosen mata kuliah Penyidikan Pajak, pernah berkata, “Apakah koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak tidak membuktikan telah terjadi tindak pidana pajak? ... Koreksi satu rupiah pun, untuk hukum menunjukkan bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.” Wah, saya pikir benar juga. SPT Wajib Pajak disebut benar bila tidak ada lagi perubahan pajak terutang atau besarnya kerugian. Padahal di negeri ini, hal seperti ini hanya terjadi bila SPT Wajib Pajak telah kadaluarsa 10 tahun tidak diutak-atik oleh kantor pajak. Setahu saya, selama ada surat ketetapan pajak yang berasal dari Investigasi selalu ada koreksi! Kalau begitu, semua Wajib Pajak telah menjalankan tindak pidana perpajakan dong?

Coba kita perhatikan apa yang dimaksud tindak pidana pajak menurut UU KUP. Pasal 38 UU KUP merinci tindakan-tindakan Wajib Pajak yang merupakan tindak pidana pajak Sebab kealpaan. Selengkapnya demikian :
“Barang siapa Sebab kealpaannya :
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, akan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga Bisa menimbulkan kerugian di pendapatan negara, dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

Menurut kebiasaan sehari-hari, Perkataan “alpa” biasanya sinonim dengan lupa atau tidak sengaja. akan tetapi dalam bidang hukum, terutama pembuktian di pengadilan, pengertian tersebut sulit diterima. Setiap orang, kapan aja, Bisa mengatakan bahwa ia lupa tidak berbuat sesuatu atau telah berbuat sesuatu. Begitu juga dengan Perkataan ‘tidak sengaja’ yang lebih kepada niat seseorang. ‘Pepatah leluhur’ mengatakan bahwa dalamnya lautan Bisa diselami akan tetapi dalamnya hati tidak diketahui. Jadi bagaimana pembuktian sengaja atau tidak sengajanya seorang tersangka?

di pasal berikutnya, Pasal 39 UU KUP, mengatur tindak pidana perpajakan yang dilakukan dengan sengaja. Dalam bahasa sehari-hari, sengaja merupakan kebalikan dari alpa. Hampir semua orang Bisa membedakan mana perbuatan alpa dan mana perbuatan sengaja. Hanya aja parameternya abstrak. Dan lebih ditentukan oleh subjektivitas seseorang.

akan tetapi dalam hukum, konon, untuk membuktikan sengaja atau alpa diukur dengan latar belakang pendidikan. Seorang Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak Bisa disangka dengan Pasal 39 UU KUP bila tersangka mempunyai latar belakang pendidikan perpajakan. Orang yang pernah belajar perpajakan tentu mengerti mengenai perpajakan. Pernah belajar perpajakan bukan wajib sarjana akuntansi Sebab tempat belajar perpajakan bukan hanya jalur formal akan tetapi juga informal seperti: kursus brevet dan seminar perpajakan.

Pembaca ITR juga (mungkin) termasuk orang yang dianggap pernah belajar perpajakan Sebab ITR merupakan salah satu media belajar perpajakan. Sebab itulah pembaca ITR mesti hati-hatilah terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP berikut!
(1) setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau memakai tanpa Copyright Nomor inti Wajib Pajak, atau Pengukuhan Pengusaha tersambar Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan dan dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
sehingga Bisa menimbulkan kerugian di pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang menjalankan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.”

Undang-undang tidak pernah menentukan berapa jumlah minimal kerugian negara yang sebagai syarat untuk Bisa dipenjara. Perkataan-Perkataan “Bisa menimbulkan kerugian di negara” merupakan syarat untuk Wajib Pajak untuk Bisa divonis penjara. Adapun jumlahnya mulai satu rupiah hingga jumlah tak terhingga. Jadi bila SPT Tahunan seorang Wajib Pajak dikoreksi oleh kantor pajak, maka hal tersebut telah membuktikan bahwa Wajib Pajak tersebut “menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga Bisa menimbulkan kerugian di pendapatan negara”. Jadi hati-hatilah saat mengisi SPT bagus masa ataupun tahunan Sebab dokumen tersebut Bisa menjadi alat bukti yang kuat untuk menyeret kita ke muka pengadilan. Dan menerima vonis hakim.

bila kita perhatikan, pidana penjara enam tahun dimulai sejak perubahan pertama UU KUP tahun 1994. Sebelumnya ancaman penjara hanya tiga tahun dan denda Bisa tidak ditambahkan Sebab memakai Perkataan “dan / atau”. akan tetapi sejak tahun 1994 seorang terpidana otomatis wajib bayar denda empat kali (kumulatif)! Konon, latar belakang perubahan ini Sebab fiskus ingin menahan para tersangka saat penyidikan. Berdasarkan KUHAP, seorang tersangka Bisa ditahan bila diancam dengan kurungan penjara minimal lima tahun.


Proses menuju Penyidikan
Seseorang tidak Bisa disangka menjalankan perbuatan pidana kecuali dengan cukup bukti atau tertangkap tangan (bukan tertangkap basah). Tertangkap tangan maksudnya, seseorang yang sedang melakukakan pidana langsung diamankan oleh petugas. Contohnya : seorang perampok ditangkap oleh polisi saat sedang beraksi. Sebab tertangkap tangan, perampok tersebut Bisa langsung disidik. Tidak wajib penyelidikan terlebih dahulu.

Dalam bidang perpajakan, mungkin tertangkap tangan tidak Bisa dilakukan Sebab sulitnya menentukan saat (jam, hari dan tanggal) tindak pidana pajak dilakukan. Sebab itu, penyidikan pajak selalu didahului dengan penyelidikan. Istilah resmi penyelidikan pajak merupakan Investigasi bukti permulaan, yaitu Investigasi yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan mengenai adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan.

Prosedur dan tata Tips Investigasi bukti permulaan sama dengan Investigasi pajak lainnya. Hanya aja hasil Investigasi tidak diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui SPHP akan tetapi laporannya disampaikan langsung ke Direktur Investigasi, Penyidikan dan Penagihan Pajak Ditjen Pajak. Selain itu, bila dalam Investigasi biasa dokumen yang dipinjam wajib dikembalikan, sebaliknya dalam Investigasi bukti permulaan dokumen-dokumen yang dipinjam oleh pemeriksa tidak akan dikembalikan kepada Wajib Pajak akan tetapi akan ditahan dan disimpan ditempat yang aman. Dokumen-dokumen dan keterangan lainnya akan dijadikan barang bukti untuk penyidikan pajak.

bila dalam Investigasi biasa pemeriksa cukup menghitung pajak terutang, dalam Investigasi bukti permulaan pemeriksa juga wajib melaporkan :
* Posisi kasus
* Modus operandi
* Uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana dibidang perpajakan
* Rincian macam dan jenis barang bukti yang diperoleh (diamankan)
* Nama dan identitas tersangka dan saksi, serta
* Kesimpulan dan usul pemeriksa.

Ada dua kemungkinan usul pemeriksa. Pertama, pemeriksa mengusulkan supaya dikeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Kesimpulan ini sebenarnya sama aja dengan Investigasi biasa. akan tetapi bila memang pemeriksa tidak mendapatkan bukti yang cukup, usul ini paling masuk akal. Kedua, pemeriksa mengusulkan supaya dilanjutkan dengan penyidikan pajak. Usul mana yang dipilih oleh pemeriksa, selain ditentukan oleh keadaan objektif dilapangan, juga ditentukan oleh subjektifitas pemeriksa.

Apapun hasil Investigasi bukti permulaan, yang menentukan langkah selanjutnya merupakan Direktur Jenderal Pajak. bila Pak Dirjen menentukan supaya dikeluarkan SKP, maka pemeriksa setelah itu membuatkan nota penghitungan pajak yang akan dikirim ke KPP terkait. Selanjutnya bila Pak Dirjen menentukan akan dilanjutkan dengan penyidikan pajak, maka Pak Dirjen akan membuatkan Surat Perintah Penyidikan Pajak.

Sebelum Surat Perintah Penyidikan Pajak dikeluarkan, pemeriksa diharuskan membuat Laporan Kejadian. Laporan ini merupakan bagian dari syarat penyidikan seperti yang dilakukan oleh polisi. Intinya, pelapor (pemeriksa) melaporkan telah terjadi tindak pidana pajak kepada penyidik. Isi Laporan Kejadian sendiri mirip dengan laporan Investigasi bukti permulaan. Hanya aja, kalau laporan Investigasi bukti permulaan lebih kepada keperluan intern, bawahan melaporkan hasil kerjanya kepada atasan, maka kalau Laporan Kejadian merupakan laporan (pelapor dalam hal ini pemeriksa bukti permulaan) kepada penyidik (yang akan menjalankan penyidikan). Laporan Kejadian ini diperlukan untuk bukti perlunya dilakukan penyidikan oleh penyidik dan salah satu dokumen wajib untuk Investigasi di pengadilan.


Banyak Unsur Subjektifnya
Seandainya Direktorat Jenderal Pajak jarang menjalankan penyidikan pajak bukan berarti aparat pajak mengabaikan dan menolak penegakkan hukum akan tetapi Sebab misi Direktorat Jenderal Pajak merupakan mengumpulkan pajak sesuai target yang ditetapkan undang-undang APBN. Ibarat senjata, maka aparat pajak sebenarnya telah dipersenjatai oleh undang-undang dengan kewenangan untuk menyidik dan menyeret para Wajib Pajak yang bandel ke muka pengadilan umum. akan tetapi senjata itu akan dan pasti digunakan sekiranya dianggap diperlukan. Dimana pun, bagus polisi ataupun tentara, senjata selalu dipergunakan saat diperlukan.

di prakteknya yang menentukan Wajib Pajak mana yang wajib dilakukan penyidikan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Kewenangan ini tidak didelegasikan ke eselon dibawahnya seperti Investigasi biasa. Walaupun banyak Kantor Investigasi dan Penyidikan Pajak (Karikpa) akan tetapi di kenyataannya sangat jarang Karikpa yang menjalankan penyidikan dan, memang, kepala Karikpa tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.

Unsur subjektivitas Pak Dirjen sangat menonjol saat menentukan apakah seorang Wajib Pajak akan disidik dan ajukan ke muka pengadilan atau tidak. bila tidak disidik berarti untuk Wajib Pajak tersebut akan dikeluarkan surat ketetapan pajak, setelah itu ditagih, disita dan bila wajib dilakukan paksa badan dulu. bila masih bandel juga dilelang hartanya. Disisi lain, Wajib Pajak Bisa mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut, bila masih belum puas Bisa mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Bahkan mungkin mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

akan tetapi bila Pak Dirjen menentukan bahwa seorang Wajib Pajak wajib disidik maka dibentuklah tim penyidik yang akan memeriksa seorang tersangka. Penyidik mengumpulkan keterangan-keterangan bagus dari para saksi ataupun tersangka sendiri. Semua dokumen yang diperlukan sebagai alat bukti akan disita, diperiksa dan bila Bisa dijadikan sebagai alat bukti maka diajukan ke muka pengadilan negeri. Selanjutnya, hakimlah yang menentukan apakah seorang terdakwa (wajib pajak) Bisa divonis hukuman penjara atau bebas.

Proses menuju Pengadilan Negeri
Biasanya penyidikan dilakukan oleh penyidik pajak yang telah mendapat brevet penyidik dari kepolisian. akan tetapi bila diperlukan, polisi Bisa mendampingi atau membantu penyidik pajak. Terutama masalah pemberkasan, penyidik pajak kurang pengalaman Sebab sedikitnya kasus-kasus pidana pajak yang diajukan ke pengadilan negeri. Sedangkan untuk polisi, membuat berkas kasus pidana merupakan pekerjaan sehari-hari. Selain itu, berkas pidana pajak yang dibuat oleh Ditjen Pajak wajib diserahkan ke jaksa penuntut umum melalui polisi. Tidak Bisa langsung diberikan ke Kejaksaan. bila polisi merasa tidak lengkap, maka berkas yang berasal dari Ditjen Pajak Bisa dikembalikan.

Selama dilakukan penyidikan, Wajib Pajak yang menjadi tersangka wajib didampingi oleh seorang atau lebih pengacara. Hukum acara kita mewajibkan seorang tersangka yang diperiksa oleh penyidik wajib didampingi oleh pengacara resmi walaupun di saat Investigasi pengacara tidak mempunyai Copyright menjawab. Tugas pengacara hanya mendampingi akan tetapi tidak mempunyai Copyright menjawab atau membantu memberi jawaban untuk tersangka.

bila penyidik pajak merasa bahwa tersangka dikhawatirkan melarikan diri, penyidik pajak mempunyai Copyright menahan tersangka. Tempat penahanan biasanya di rumah tahanan digabung dengan para tersangka kejahatan umum. Hal ini Sebab Ditjen Pajak tidak mempunyai ruang atau rumah tahanan khusus. Jadi dititipkan ke rumah tahanan negara.

Selama ini, Investigasi tindak pidana pajak memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan tidak jarang bertahun-tahun. bila pemberkasan dianggap lengkap, maka berkas diserahkan ke Kejaksaan melalui Kepolisian. Berkas akan bolak balik bila Kepolisian dan Kejaksaan merasa tidak lengkap. Berkas yang tidak lengkap wajib dilengkapi oleh penyidik pajak. akan tetapi yang paling menentukan merupakan Kejaksaan Sebab jaksalah yang akan membuat penuntutan di pengadilan negeri. bila Kejaksaan merasa bahwa berkas telah lengkap, maka kasus akan cepat diserahkan ke pengadilan negeri. Dan pengadilan kasus pidana pajak akan cepat digelar.

[catatan : tulisan ini pernah dimuat di ITR, Tahun III, Edisi 2/2003]

Pilih Pidana Pajak atau skp? Yang wajib Kita Tau


Artikel Pilih Pidana Pajak atau skp? ini khusus memang untuk kita, tapi sebelum membahasnya, ada baiknya untuk menyimak hal berikut ini : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum digunakan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Berikan otonomi seluas luasnya tiap daerah untuk mengatur dan mengelola sumberdaya sendiri. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Pilih Pidana Pajak atau skp?, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Pilih Pidana Pajak atau skp?


saat penulis mengikuti Pendidikan Penyidik PNS Pajak di Pusdik Resintel Polri, seorang perwira polisi yang menjadi instruktur agak terheran-heran dengan jawaban peserta yang berpendapat bahwa proses penyidikan Bisa dihentikan bila Wajib Pajak telah membayar pajak terutang ditambah sanksi. Padahal untuk tindak pidana korupsi, misalnya, proses penyidikan wajib tetap berlanjut hingga pengadilan walaupun tersangka telah mengembalikan uang yang dicuri. Ingat Buloggate tahun lalu yang menghebohkan negeri ini. Walaupun sang pelaku telah mengembalikan uang yang diambil (konon kabarnya disimpan di lemari di kamar rumahnya) hakim tetap menjatuhkan vonis pidana kepada para pelaku.

Perbuatan korupsi merupakan satu sisi dan mengembalikan uang yang dicuri merupakan sisi lain. Tidak Bisa disatukan. Tindak pidana korupsi telah dilakukan dan waktu tidak Bisa direwind supaya Bisa mengubah sejarah. Sebab itu, tindak pidana tetap Bisa diproses ke pengadilan dan hakim Bisa, bila terbukti, menghukum pelaku. Sedangkan mengembalikan uang merupakan perbuatan lain. Hanya aja perbuatan mengembalikan uang akan menjadi perhatian hakim sebagai hal yang meringankan.

Proses penyidikan biasanya Bisa dihentikan bila :
[1] Tidak terdapat cukup bukti;
[2] Nebis in idem
[3] Daluarsa
[4] Tersangka meninggal dunia
akan tetapi, tindak pidana pajak punya kekekhususan. Ada satu yang tidak ditemukan di penyidikan tindak pidana umum. Penyidikan pajak Bisa dihentikan bila tersangka melunasi pajak terutang ditambah sanksi empat kali. Ketentuan unik ini diatur di Pasal 44B UU KUP.

Ingat, besarnya pajak terutang disini berdasarkan perhitungan kantor pajak semata. Wajib Pajak tidak Bisa mengajukan keberatan atas besarnya jumlah pajak yang terutang, Sebab untuk negosiasi besarnya pajak terutang ada jalur tersendiri. Proses negosiasi dengan cara hukum merupakan dengan Forum keberatan, banding ke Pengadilan Pajak setelah itu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Sedangkan jalur penyidikan pajak tidak melalui Forum-Forum tersebut. Tulisan ini dimaksudkan untuk membagikan “sekilas pandang” jalur pidana pajak.

Tindak Pidana Pajak
Seorang kepala BPKP [saat itu] yang juga menjadi dosen mata kuliah Penyidikan Pajak, pernah berkata, “Apakah koreksi fiskal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak tidak membuktikan telah terjadi tindak pidana pajak? ... Koreksi satu rupiah pun, untuk hukum menunjukkan bahwa SPT Wajib Pajak tidak benar.” Wah, saya pikir benar juga. SPT Wajib Pajak disebut benar bila tidak ada lagi perubahan pajak terutang atau besarnya kerugian. Padahal di negeri ini, hal seperti ini hanya terjadi bila SPT Wajib Pajak telah kadaluarsa 10 tahun tidak diutak-atik oleh kantor pajak. Setahu saya, selama ada surat ketetapan pajak yang berasal dari Investigasi selalu ada koreksi! Kalau begitu, semua Wajib Pajak telah menjalankan tindak pidana perpajakan dong?

Coba kita perhatikan apa yang dimaksud tindak pidana pajak menurut UU KUP. Pasal 38 UU KUP merinci tindakan-tindakan Wajib Pajak yang merupakan tindak pidana pajak Sebab kealpaan. Selengkapnya demikian :
“Barang siapa Sebab kealpaannya :
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, akan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
sehingga Bisa menimbulkan kerugian di pendapatan negara, dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.”

Menurut kebiasaan sehari-hari, Perkataan “alpa” biasanya sinonim dengan lupa atau tidak sengaja. akan tetapi dalam bidang hukum, terutama pembuktian di pengadilan, pengertian tersebut sulit diterima. Setiap orang, kapan aja, Bisa mengatakan bahwa ia lupa tidak berbuat sesuatu atau telah berbuat sesuatu. Begitu juga dengan Perkataan ‘tidak sengaja’ yang lebih kepada niat seseorang. ‘Pepatah leluhur’ mengatakan bahwa dalamnya lautan Bisa diselami akan tetapi dalamnya hati tidak diketahui. Jadi bagaimana pembuktian sengaja atau tidak sengajanya seorang tersangka?

di pasal berikutnya, Pasal 39 UU KUP, mengatur tindak pidana perpajakan yang dilakukan dengan sengaja. Dalam bahasa sehari-hari, sengaja merupakan kebalikan dari alpa. Hampir semua orang Bisa membedakan mana perbuatan alpa dan mana perbuatan sengaja. Hanya aja parameternya abstrak. Dan lebih ditentukan oleh subjektivitas seseorang.

akan tetapi dalam hukum, konon, untuk membuktikan sengaja atau alpa diukur dengan latar belakang pendidikan. Seorang Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak Bisa disangka dengan Pasal 39 UU KUP bila tersangka mempunyai latar belakang pendidikan perpajakan. Orang yang pernah belajar perpajakan tentu mengerti mengenai perpajakan. Pernah belajar perpajakan bukan wajib sarjana akuntansi Sebab tempat belajar perpajakan bukan hanya jalur formal akan tetapi juga informal seperti: kursus brevet dan seminar perpajakan.

Pembaca ITR juga (mungkin) termasuk orang yang dianggap pernah belajar perpajakan Sebab ITR merupakan salah satu media belajar perpajakan. Sebab itulah pembaca ITR mesti hati-hatilah terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP berikut!
(1) setiap orang yang dengan sengaja:
a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau memakai tanpa Copyright Nomor inti Wajib Pajak, atau Pengukuhan Pengusaha tersambar Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau
b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau
d. menolak untuk dilakukan Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; atau
e. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau
f. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku, catatan dan dokumen lainnya; atau
g. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
sehingga Bisa menimbulkan kerugian di pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang menjalankan lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1(satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.”

Undang-undang tidak pernah menentukan berapa jumlah minimal kerugian negara yang sebagai syarat untuk Bisa dipenjara. Perkataan-Perkataan “Bisa menimbulkan kerugian di negara” merupakan syarat untuk Wajib Pajak untuk Bisa divonis penjara. Adapun jumlahnya mulai satu rupiah hingga jumlah tak terhingga. Jadi bila SPT Tahunan seorang Wajib Pajak dikoreksi oleh kantor pajak, maka hal tersebut telah membuktikan bahwa Wajib Pajak tersebut “menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga Bisa menimbulkan kerugian di pendapatan negara”. Jadi hati-hatilah saat mengisi SPT bagus masa ataupun tahunan Sebab dokumen tersebut Bisa menjadi alat bukti yang kuat untuk menyeret kita ke muka pengadilan. Dan menerima vonis hakim.

bila kita perhatikan, pidana penjara enam tahun dimulai sejak perubahan pertama UU KUP tahun 1994. Sebelumnya ancaman penjara hanya tiga tahun dan denda Bisa tidak ditambahkan Sebab memakai Perkataan “dan / atau”. akan tetapi sejak tahun 1994 seorang terpidana otomatis wajib bayar denda empat kali (kumulatif)! Konon, latar belakang perubahan ini Sebab fiskus ingin menahan para tersangka saat penyidikan. Berdasarkan KUHAP, seorang tersangka Bisa ditahan bila diancam dengan kurungan penjara minimal lima tahun.


Proses menuju Penyidikan
Seseorang tidak Bisa disangka menjalankan perbuatan pidana kecuali dengan cukup bukti atau tertangkap tangan (bukan tertangkap basah). Tertangkap tangan maksudnya, seseorang yang sedang melakukakan pidana langsung diamankan oleh petugas. Contohnya : seorang perampok ditangkap oleh polisi saat sedang beraksi. Sebab tertangkap tangan, perampok tersebut Bisa langsung disidik. Tidak wajib penyelidikan terlebih dahulu.

Dalam bidang perpajakan, mungkin tertangkap tangan tidak Bisa dilakukan Sebab sulitnya menentukan saat (jam, hari dan tanggal) tindak pidana pajak dilakukan. Sebab itu, penyidikan pajak selalu didahului dengan penyelidikan. Istilah resmi penyelidikan pajak merupakan Investigasi bukti permulaan, yaitu Investigasi yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan mengenai adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan.

Prosedur dan tata Tips Investigasi bukti permulaan sama dengan Investigasi pajak lainnya. Hanya aja hasil Investigasi tidak diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui SPHP akan tetapi laporannya disampaikan langsung ke Direktur Investigasi, Penyidikan dan Penagihan Pajak Ditjen Pajak. Selain itu, bila dalam Investigasi biasa dokumen yang dipinjam wajib dikembalikan, sebaliknya dalam Investigasi bukti permulaan dokumen-dokumen yang dipinjam oleh pemeriksa tidak akan dikembalikan kepada Wajib Pajak akan tetapi akan ditahan dan disimpan ditempat yang aman. Dokumen-dokumen dan keterangan lainnya akan dijadikan barang bukti untuk penyidikan pajak.

bila dalam Investigasi biasa pemeriksa cukup menghitung pajak terutang, dalam Investigasi bukti permulaan pemeriksa juga wajib melaporkan :
* Posisi kasus
* Modus operandi
* Uraian perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana dibidang perpajakan
* Rincian macam dan jenis barang bukti yang diperoleh (diamankan)
* Nama dan identitas tersangka dan saksi, serta
* Kesimpulan dan usul pemeriksa.

Ada dua kemungkinan usul pemeriksa. Pertama, pemeriksa mengusulkan supaya dikeluarkan surat ketetapan pajak (SKP). Kesimpulan ini sebenarnya sama aja dengan Investigasi biasa. akan tetapi bila memang pemeriksa tidak mendapatkan bukti yang cukup, usul ini paling masuk akal. Kedua, pemeriksa mengusulkan supaya dilanjutkan dengan penyidikan pajak. Usul mana yang dipilih oleh pemeriksa, selain ditentukan oleh keadaan objektif dilapangan, juga ditentukan oleh subjektifitas pemeriksa.

Apapun hasil Investigasi bukti permulaan, yang menentukan langkah selanjutnya merupakan Direktur Jenderal Pajak. bila Pak Dirjen menentukan supaya dikeluarkan SKP, maka pemeriksa setelah itu membuatkan nota penghitungan pajak yang akan dikirim ke KPP terkait. Selanjutnya bila Pak Dirjen menentukan akan dilanjutkan dengan penyidikan pajak, maka Pak Dirjen akan membuatkan Surat Perintah Penyidikan Pajak.

Sebelum Surat Perintah Penyidikan Pajak dikeluarkan, pemeriksa diharuskan membuat Laporan Kejadian. Laporan ini merupakan bagian dari syarat penyidikan seperti yang dilakukan oleh polisi. Intinya, pelapor (pemeriksa) melaporkan telah terjadi tindak pidana pajak kepada penyidik. Isi Laporan Kejadian sendiri mirip dengan laporan Investigasi bukti permulaan. Hanya aja, kalau laporan Investigasi bukti permulaan lebih kepada keperluan intern, bawahan melaporkan hasil kerjanya kepada atasan, maka kalau Laporan Kejadian merupakan laporan (pelapor dalam hal ini pemeriksa bukti permulaan) kepada penyidik (yang akan menjalankan penyidikan). Laporan Kejadian ini diperlukan untuk bukti perlunya dilakukan penyidikan oleh penyidik dan salah satu dokumen wajib untuk Investigasi di pengadilan.


Banyak Unsur Subjektifnya
Seandainya Direktorat Jenderal Pajak jarang menjalankan penyidikan pajak bukan berarti aparat pajak mengabaikan dan menolak penegakkan hukum akan tetapi Sebab misi Direktorat Jenderal Pajak merupakan mengumpulkan pajak sesuai target yang ditetapkan undang-undang APBN. Ibarat senjata, maka aparat pajak sebenarnya telah dipersenjatai oleh undang-undang dengan kewenangan untuk menyidik dan menyeret para Wajib Pajak yang bandel ke muka pengadilan umum. akan tetapi senjata itu akan dan pasti digunakan sekiranya dianggap diperlukan. Dimana pun, bagus polisi ataupun tentara, senjata selalu dipergunakan saat diperlukan.

di prakteknya yang menentukan Wajib Pajak mana yang wajib dilakukan penyidikan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Kewenangan ini tidak didelegasikan ke eselon dibawahnya seperti Investigasi biasa. Walaupun banyak Kantor Investigasi dan Penyidikan Pajak (Karikpa) akan tetapi di kenyataannya sangat jarang Karikpa yang menjalankan penyidikan dan, memang, kepala Karikpa tidak berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan.

Unsur subjektivitas Pak Dirjen sangat menonjol saat menentukan apakah seorang Wajib Pajak akan disidik dan ajukan ke muka pengadilan atau tidak. bila tidak disidik berarti untuk Wajib Pajak tersebut akan dikeluarkan surat ketetapan pajak, setelah itu ditagih, disita dan bila wajib dilakukan paksa badan dulu. bila masih bandel juga dilelang hartanya. Disisi lain, Wajib Pajak Bisa mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut, bila masih belum puas Bisa mengajukan banding ke Pengadilan Pajak. Bahkan mungkin mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

akan tetapi bila Pak Dirjen menentukan bahwa seorang Wajib Pajak wajib disidik maka dibentuklah tim penyidik yang akan memeriksa seorang tersangka. Penyidik mengumpulkan keterangan-keterangan bagus dari para saksi ataupun tersangka sendiri. Semua dokumen yang diperlukan sebagai alat bukti akan disita, diperiksa dan bila Bisa dijadikan sebagai alat bukti maka diajukan ke muka pengadilan negeri. Selanjutnya, hakimlah yang menentukan apakah seorang terdakwa (wajib pajak) Bisa divonis hukuman penjara atau bebas.

Proses menuju Pengadilan Negeri
Biasanya penyidikan dilakukan oleh penyidik pajak yang telah mendapat brevet penyidik dari kepolisian. akan tetapi bila diperlukan, polisi Bisa mendampingi atau membantu penyidik pajak. Terutama masalah pemberkasan, penyidik pajak kurang pengalaman Sebab sedikitnya kasus-kasus pidana pajak yang diajukan ke pengadilan negeri. Sedangkan untuk polisi, membuat berkas kasus pidana merupakan pekerjaan sehari-hari. Selain itu, berkas pidana pajak yang dibuat oleh Ditjen Pajak wajib diserahkan ke jaksa penuntut umum melalui polisi. Tidak Bisa langsung diberikan ke Kejaksaan. bila polisi merasa tidak lengkap, maka berkas yang berasal dari Ditjen Pajak Bisa dikembalikan.

Selama dilakukan penyidikan, Wajib Pajak yang menjadi tersangka wajib didampingi oleh seorang atau lebih pengacara. Hukum acara kita mewajibkan seorang tersangka yang diperiksa oleh penyidik wajib didampingi oleh pengacara resmi walaupun di saat Investigasi pengacara tidak mempunyai Copyright menjawab. Tugas pengacara hanya mendampingi akan tetapi tidak mempunyai Copyright menjawab atau membantu memberi jawaban untuk tersangka.

bila penyidik pajak merasa bahwa tersangka dikhawatirkan melarikan diri, penyidik pajak mempunyai Copyright menahan tersangka. Tempat penahanan biasanya di rumah tahanan digabung dengan para tersangka kejahatan umum. Hal ini Sebab Ditjen Pajak tidak mempunyai ruang atau rumah tahanan khusus. Jadi dititipkan ke rumah tahanan negara.

Selama ini, Investigasi tindak pidana pajak memakan waktu berbulan-bulan. Bahkan tidak jarang bertahun-tahun. bila pemberkasan dianggap lengkap, maka berkas diserahkan ke Kejaksaan melalui Kepolisian. Berkas akan bolak balik bila Kepolisian dan Kejaksaan merasa tidak lengkap. Berkas yang tidak lengkap wajib dilengkapi oleh penyidik pajak. akan tetapi yang paling menentukan merupakan Kejaksaan Sebab jaksalah yang akan membuat penuntutan di pengadilan negeri. bila Kejaksaan merasa bahwa berkas telah lengkap, maka kasus akan cepat diserahkan ke pengadilan negeri. Dan pengadilan kasus pidana pajak akan cepat digelar.

[catatan : tulisan ini pernah dimuat di ITR, Tahun III, Edisi 2/2003]
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo