
Artikel Tips Equaliasasi Objek Pajak ini khusus didedikasikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar angan2 dan Asa semu. Betul sekali Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Hasil bumi di daerah tidak boleh dijual ke luar negeri, gunakan dulu untuk rakyat lebihnya baru dijual. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Tips Equaliasasi Objek Pajak, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.
Tips Equaliasasi Objek Pajak
Laporan keuangan setidaknya menyajikan dua hal, yaitu Neraca dan Laporan Laba Rugi. Dua hal itulah yang wajib dilampirkan oleh Wajib Pajak di Surat Pemberitahuan PPh Badan / OP. Neraca menyajikan harta, kewajiban dan ekuitas per tanggal tertentu. Sedangkan Laporan Laba Rugi menyajikan hasil kegiatan usaha Wajib Pajak selama satu periode tertentu. Kebanyakan Wajib Pajak selalu “menyesuaikan” antara periode akuntansinya dengan tahun kelender atau tahun pajak. Hal inilah yang menjadi patokan fiskus untuk mensinkronkan antara laporan keuangan dengan Surat Pemberitahuan PPh Badan. Sebab periode laporan keuangan sama dengan periode tahun pajak, maka angka-angka yang dilaporkan di Surat Pemberitahuan PPh Badan wajib sama dengan laporan keuangan!
Entah Sebab lupa, sengaja, atau belum tahu, masih banyak Wajib Pajak yang melupakan sinkronisasi atau equalisasi antara Surat Pemberitahuan dengan laporan keuangan. Sekedar diingatkan kembali, bahwa fiskus akan dan wajib berpatokan kepada Surat Pemberitahuan. Surat Pemberitahuan berfungsi sebagai laporan Aplikasi kewajiban perpajakan Wajib Pajak kepada kantor pajak. Sedangkan Neraca dan Laporan Laba Rugi hanyalah lampiran atau pelengkap dari Surat Pemberitahuan. Keduanya (Neraca & Laporan Laba Rugi) bukan laporan Wajib Pajak mengenai kewajiban perpajakan!
Mohon digaris bawahi bahwa fungsi Surat Pemberitahuan sebagai laporan kewajiban perpajakan. Inilah yang membedakan antara laporan keuangan dengan Surat Pemberitahuan. Begitu juga mengenai Investigasi. Investigasi pajak berbeda dengan Investigasi akuntan publik. Investigasi pajak bertujuan memeriksa kebenaran kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku sedangkan Investigasi akuntan publik, seperti disebutkan dalam laporannya, yaitu untuk menguji kewajiban laporan keuangan. Akuntan publik bertanggung jawab hanya sebatas di pernyataan pendapat.
Sebab itu, laporan keuangan aja belum cukup. untuk fiskus, administrasi perpajakan yang bagus mungkin lebih penting daripada laporan keuangan yang cantik. Apalagi Direktorat Jenderal Pajak berencana menerapkan sistem administrasi perpajakan modern dan bebas kolusi dengan cara ‘sistemik’ di tahun 2010. Kalau sudah bebas kolusi dengan cara sistemik, mudah-mudah terealisasi, maka tidak ada ruang lagi untuk Wajib Pajak dan pejabat pajak untuk menyembunyikan potensi pajak dan pembayaran pajak ke negara.
Tulisan berikut berusaha untuk membagikan tips untuk pembaca supaya laporan keuangan dan Surat Pemberitahuan tampak cantik. bila terdapat kekurangan dalam kewajiban perpajakan, segeralah lengkapi sebelum tim pejabat fungsional pemeriksa pajak datang ke tempat Wajib Pajak. Sanksi administrasi setelah ada Investigasi lebih berat daripada sebelum ada Investigasi.
SPT Tahunan PPh Badan
Walaupun di hakikatnya semua pajak berasal dari penghasilan akan tetapi Pajak Penghasilan atau Income Tax mempunyai kekhasan tersendiri Sebab Tips penghitungannya sangat dekat dengan disiplin ilmu akuntansi. Di negara kita, standar akuntansi ditentukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dan standar tersebut diakui sebagai praktek akuntansi yang paling adil dan lazim digunakan didunia bisnis. Selain diakui oleh institusi pengawas pasar modal (Bapepam), Standar Akuntansi Keuangan Indonesia juga diakui oleh administrator pajak (Direktorat Jenderal Pajak). Artinya, laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik sangat berarti untuk SPT Tahunan PPh Badan.
akan tetapi adakalanya penghasilan di laporan keuangan berbeda dengan SPT Tahunan PPh Badan. Tidak semua standar akuntansi Bisa diterapkan untuk kepentingan pajak penghasilan. Sebagai contoh, penghitungan persediaan barang dagangan, peraturan perpajakan di Indonesia yang berlaku sekarang hanya membolehkan metode FIFO (first in first out) dan metode rata-rata (average). bila Wajib Pajak memakai metode persesedian LIFO (last in first out) maka nilai persediaan Wajib Pajak wajib dikoreksi. Akan ada perbedaan pengakuan antara fiskal dan komersial.
Wajib Pajak seharusnya membuat equalisasi antara pos-pos di laporan keuangan komersial dan angka-angka di SPT Tahunan PPh Badan. Setiap perpedaan angka antara laporan keuangan dengan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak wajib kudu mempersiapkan alasan-alasan yang rasional dan berdasar. Berdasar maksudnya, bahwa perbedaan tersebut dikarenakan peraturan perpajakan yang berlaku, bagus undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri keuangan ataupun keputusan direktur jenderal pajak.
Mulainya wajib dari angka-angka komersial, setelah itu dikoreksi, baru angka-angka yang disajikan di SPT. Tips membuat equalisasi SPT Tahunan PPh Badan sebenarnya mirip dengan membuat Neraca Lajur. Jadi ada kolom untuk nama-nama Estimasi, kolom rupiah menurut laporan keuangan komersian, kolom koreksi fiskal dan kolom rupiah menurut fiskal. Angka-angka yang ada di kolom menurut fiskal yaitu angka-angka yang disajikan di SPT Tahunan PPh Badan. Ditambah lagi catatan dibawahnya, peraturan mana yang menjadi dasar koreksi.
Keuntungan membuat equalisasi seperti diatas yaitu kemudahan untuk Wajib Pajak dan pemeriksa pajak. Mungkin beberapa tahun setelah itu setelah SPT Tahunan PPh Badan disampaikan ke kantor pelayanan pajak, baru nongol petugas pajak yang akan memeriksa SPT Tahunan PPh Badan kita. Sebab rentang waktu yang lama, kita sering lupa apa yang telah kita kerjakan. Kita lupa, kenapa angka di SPT Tahunan PPh Badan berbeda dengan laporang keuangan. bila kita telah membuat equalisasi, maka kita tidak akan lupa dan perbedaan-perbedaan tersebut akan mudah dijelaskan kepada pemeriksa pajak. Wajib Pajak Bisa menerjelaskan perbedaan angka-angka tersebut disertai dengan dasar hukum yang jelas. Sikap seperti ini tentu akan membagikan kesan kepada pemeriksa pajak bahwa Wajib Pajak tersebut sudah taat Anggaran pajak. Ini kredit poin untuk Wajib Pajak.
SPT PPh Pasal 21
bila equalisasi SPT Tahunan PPh Badan bermula dari laporan keuangan komersial, maka equalisasi SPT yang lain bermula dari SPT Tahunan PPh Badan. Pos-pos biaya yang ada di Laporan Laba Rugi yang telah dituangkan didalam SPT Tahunan PPh Badan wajib disinkronkan dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 23 dan 26. Sedangkan Pos pendapatan (bagus pendapatan usaha ataupun pendapatan lain-lain) wajib disinkronkan dengan SPT Masa PPN.
PPh Pasal 21 yaitu withholding tax yang berkaitan dengan majikan dan buruh. Majikan akan memotong pajak penghasilan milik buruh dan menyetorkannya ke kas negara. setelah itu kewajiban penghitungan, pemotongan dan pembayaran pajak penghasilan buruh selama satu tahun tersebut dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
Banyak Wajib Pajak yang mencampurkan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 21. Padahal keduanya jenis pajak yang berbeda. Menurut Prof. R. Mansyuri, Phd yang terlibat langsung dalam tax reform tahun 1985, bahwa Pasal 21 UU PPh dimaksudkan sebagai prosedur pelunasan pajak atas penghasilan yang diperoleh “seseorang” Sebab bekerja. Syaratnya : ada majikan dan buruh, hubungan keduanya tidak setara. Majikan tentu lebih tinggi daripada buruh. Majikan dalam posisi memberi perintah dan buruh dalam posisi yang diperintah. Sebab klasifikasikan begitu, maka pembayaran kepada konsultan profesional bukanlah objek PPh Pasal 21 Sebab tidak ada majikan – buruh dan posisinya setara!
Kalau kita sudah Bisa membedakan mana objek PPh Pasal 21 dan mana objek PPh Pasal 23, maka kita Bisa menyusun SPT Tahunan PPh Pasal 21 dengan benar. SPT Tahunan ini menjadi patokan untuk pemeriksa pajak, apakah Wajib Pajak telah menjalankan kewajiban perpajakan dengan benar. terkadang – terkadang Wajib Pajak lupa memasukkan upah buruh lepas dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21, padahal upah buruh tersebut telah dipotong dan dilaporkan di SPT Masa PPh Pasal 21. Atau, Wajib Pajak lupa memasukkan pesangon ke SPT Tahunan padalah di SPT Masa telah dilaporkan. Apa pun yang telah dilaporkan di SPT Masa, hendaknya dijumlahkan dan dilaporkan kembali di SPT Tahunan. bila tidak, Wajib Pajak rugi sendiri.
SPT Tahunan PPh Pasal 21 berfungsi sebagai rekapitulasi dari semua objek-objek PPh Pasal 21. Sedangkan SPT Masa PPh Pasal 21 seperti laporan keuangan interim, dilihat dari teknis perhitungan pajak, hanya sementara. akan tetapi sementara lebih bagus daripada tidak sama sekali. Seandainya tidak membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21, akan tetapi taat melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21, maka SPT Masa tersebut tetap diakui dan Wajib Pajak telah melaksanakan sebagian kewajibannya. Tidak percuma!
Biar lebih mudah kita mesti mencatat objek-objek PPh Pasal 21 kedalam Estimasi-Estimasi tertentu. Tidak mencampur dengan pos, misalnya, pemeliharaan kantor. Memang tergantung kebiasaan di perusahaan Wajib Pajak tersebut, akan tetapi mencampur pengeluaran yang memang objek PPh Pasal 21 dengan bukan objek PPh Pasal 21 akan menyulitkan menghitung dan melaporkannya dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21. Dengan tertib pencatatan, Wajib Pajak tidak akan direpotkan dikemudian hari, bagus saat membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 ataupun saat Investigasi pajak!
Angka-angka yang dicantumkan dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21 wajib Bisa dijelaskan bersumber dari Estimasi apa aja. Saat membuat SPT Tahunan PPh Pasal 21 kita wajib membuat equalisasi antara pos-pos biaya di Laporan Laba Rugi dengan SPT Tahunan PPh Pasal 21. Equalisasi ini akan sangat bermanfaat! Setidaknya tidak akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) objek PPh Pasal 21. Penghitungan ganda Bisa dilakukan oleh Wajib Pajak saat membuat SPT Tahunan ataupun pemeriksa pajak yang tidak mengerti sumber angka di SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pemeriksa menduga objek PPh Pasal 21 belum dilaporkan di SPT Tahunan setelah itu menghitung ulang (koreksi positif). bila terjadi penghitungan ganda seperti itu tentu merugikan Wajib Pajak sendiri.
SPT PPh Pasal 23 dan Pasal 26
Seperti diuraikan diatas, perbedaan penting antara PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 yaitu kesetaraan. bila hubungan antara pemberi penghasilan dengan penerima penghasilan mempunyai kesetaraan, bukan hubungan majikan dan buruh maka penghasilan tersebut yaitu objek PPh Pasal 23. Selain itu, objek PPh Pasal 23 hanya untuk jenis-jenis penghasilan tertentu. Perhatikan Perkataan-Perkataan dalam Pasal 23 ayat (1) UU PPh berikut, “atas penghasilan tersebut di bawah ini ...”
Tidak semua penghasilan menjadi objek PPh Pasal 23. Berikut yaitu jenis-jenis penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 dan pengertiannya menurut versi penulis :
1. dividen, penghasilan yang berkaitan dengan investasi atau penanaman modal;
2. bunga, penghasilan yang berasal Sebab utang piutang;
3. royalty, imbalan sehubungan dengan Copyright atas Hartah intelektual;
4. hadiah & penghargaan, kecuali ada hubungan majikan – buruh;
5. sewa, imbalan atas penggunaan aktiva tetap;
6. jasa teknik, jasa pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dibidang manufaktur, industri, perdagangan, manajemen atau ilmu pengetahuan;
7. jasa manajemen, pemberian jasa dengan ikut serta dengan cara langsung (subjek) dalam manajemen sehari-hari.
Jasa lain yaitu jenis-jenis jasa yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan kuasa dari Pasal 23 ayat (2) UU PPh. Terhadap jasa lain dikenakan 15% dari penghasilan neto yang ditetapkan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Tarif efektif masing-masing jenis jasa berbeda. Sebab itu, lebih bagus Wajib Pajak mempunyai daftar tersendiri atau tinggal salin dari sini.
Wajib Pajak sangat sering mencampuradukkan pengertian jasa manajemen, jasa teknik dan jasa konsultan berdasarkan pengertian awam. Jasa – jasa yang berkaitan dengan manajemen disebut jasa manajemen. terkadang disebut jasa konsultan manajemen. Padahal peraturan perpajakan membedakan jasa konsultan dan jasa manajemen! Seandainya perusahaan diibaratkan dengan kendaraan, jasa manajemen itu yaitu jasa supir. Orang-orang yang disewa menjadi supir perusahaan. Bukan hanya membagikan nasehat, teriak-teriak atau hanya membagikan teori-teori manajemen. He is usually a driver!
Begitu juga dengan jasa teknik, sangat sering diasosiasikan dengan pekerjaan teknik. Bukan hanya itu! Jasa teknik penekanannya di pemberian informasi dan pengalaman. terkadang mirip dengan royalti. Salah satu ciri yang membedakan jasa teknik dengan royalti yaitu pertanggungjawaban keberhasilan. Jasa teknik wajib dibayar bila jasanya telah dilaksanakan dan sukses. Sedangkan penjual royalti terkadang tidak peduli apakah pembeli royalti sukses dalam usahanya atau tidak. Ya, penjual royalti seperti penjual di pasar tradisional, “barang yang sudah dibeli tidak Bisa dikembalikan” :) Satu lagi ciri yang membedakan jasa teknik dengan royalti yaitu jual putus atau untuk hasil. Jasa teknik selalu “jual putus” sedangkan royalti selalu minta bagian (demikian persen dari penjualan).
Pemahaman atas istilah-istilah tersebut, menurut pengertian perpajakan, akan sangat bermanfaat untuk Wajib Pajak. Setidaknya ada dua manfaat yang diperoleh. Pertama, benar menghitung pajak. Seandainya ada dua istilah dengan tarif yang berlainan maka kesalahpahaman Wajib Pajak akan berakibat perhitungan pajak terutang salah. Bisa lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya. Kedua, mungkin penghitungan ganda. Ini jelas merugikan Wajib Pajak. Seandainya Wajib Pajak telah memotong PPh Pasal 23 atas jasa manajemen sebesar 4,5% akan tetapi saat diperiksa oleh kantor pajak, diketahui bahwa jasa tersebut bukan jasa manajemen tapi royalti yang tarifnya 15%, maka Wajib Pajak wajib membayar kembali PPh Pasal 23 atas royalti sebesar 15% dari jumlah bruto. Ditambah bunga! Wah? Kasus ini terjadi Sebab pemeriksa pajaknya berpendapatan bahwa Wajib Pajak baru membayar PPh Pasal 23 atas jasa manajemen akan tetapi belum membayar PPh Pasal 23 atas royalti. Repotkan!
Teknik equalisasi PPh Pasl 21, seperti yang diuraikan diatas, sama dengan PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26. Hanya aja Sebab PPh Pasal 23 dan Pasal 26 tidak ada SPT Tahunan maka Wajib Pajak tetap wajib membuat rekapitulasi SPT Masa. wajib jelas berapa pembayaran PPh Pasal 23 atas royalti, atas sewa, atas jasa teknik selama setahun. Sekali lagi, total pembayaran selama setahun masing-masing tahun pajak Bisa diperinci. setelah itu sandingkan dengan biaya-biaya yang dilaporkan di Laporan Laba Rugi!
Pasal 26 UU PPh yaitu withholding tax atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Hukum perpajakan mengharuskan adanya kesetaraan antara Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dengan WPLN. Orang Inggris bilang equal treatment. bila kepada WPDN dikenakan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 maka kepada WPLN dikenakan PPh Pasal 26. Contoh, pembayaran sewa kepada WPDN yaitu objek PPh Pasal 23 sedangkan kepada WPLN yaitu objek PPh Pasal 26.
akan tetapi wajib diingat bahwa pembayaran PPh Pasal 23 dan pembayaran PPh Pasal 26 wajib dipisah. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Pasal 23 dan Pasal 26 wajib dipisah. Selain itu, tahun pajaknya wajib jelas! Penulisan tahun pajak di SSP wajib dikaitkan dengan saat terutang. Bukan saat pembayaran SSP. Bisa jadi kita, Sebab kesadaran Wajib Pajak, membayar PPh Pasal 26 untuk tahun 2002 di tahun 2004. Selama belum ada Investigasi, boleh-boleh aja. Penghitungan sanksi bunga Sebab terlambat pembayaran lebih bagus diserahkan ke kantor pajak aja. Mudah kan?
SPT Masa PPN
Sebagian besar pemeriksa pajak, saat menerima SPT Masa PPN selalu melihat dulu SPT Masa Desember. Dilihatnya kolom “s.d. bulan ini”. Seandainya angka di kolom tersebut tidak sama dengan angka di SPT Tahunan PPh Badan, maka timbul pertanyaan, “kenapa?” Kenapa angkanya berbeda? Itulah yang wajib dijawab dengan Tips equalisasi SPT Masa PPN dengan SPT Tahunan PPh Badan.
Sebagian Wajib Pajak, Sebab bidang usahanya, mengharuskan angka pos peredaran usaha SPT Tahunan PPh Badan sama penyerahan menurut SPT Masa PPN. akan tetapi sebagian lagi tidak memungkinkan adanya persamaan Sebab sebab-sebab sebagai berikut :
[1]. Penjualan dengan mata uang asing
Kurs yang dipakai di SPT Tahunan PPh Badan yaitu kurs tengah BI. Antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan khusus mengenai kurs sama, yaitu pengakuan pendapatan dan biaya memakai kurs tengah BI. Sedangkan SPT Masa PPN wajib memakai kurs yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap minggunya. Kita mengenalnya kurs KMK. Selain untuk PPN, kurs KMK juga digunakan untuk pembayaran pajak lainnya. bila pembayaran kita memakai mata uang asing, dan pembayaran tersebut terutang PPh Pasal 26 maka akan ada perbedaan angkan antara pengakuan biaya dengan dasar pengenaan pajak PPh Pasal 26. Sekali lagi, penyebabnya yaitu kurs KMK dan kurs tengah BI. Dasar pengenaan pajak PPh Pasal 26 wajib memakai kurs KMK saat (di) tanggal pembayaran (tanggal SSP, cash basis) sedangkan pengakuran biaya memakai kurs tengah BI saat diakui (acrual basis).
[2] Penghasilan lain-lain menjadi objek PPN
Mungkin Wajib Pajak selalu menghasilkan produk sampingan. bagus Sebab limbah pabrik ataupun Sebab kualitas produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Contohnya pabrik mebel yang menghasilan kayu-kayu kecil yang Bisa dijual. Produk seperti ini saat dijual, hasil penjualannya tentu dimasukkan ke dalam pos penghasilan lain-lain. akan tetapi penjualan tersebut jelas terutang PPN. Jadi wajib dilaporkan di SPT Masa PPN.
[3] Ada penyerahan cabang dan ada SPT Masa PPN lokasi
SPT Masa PPN biasanya per lokasi tertentu kecuali ada sentralisasi pelaporan PPN. bila terdapat banyak cabang, tidak serta merta penjumlahan semua SPT Masa PPN lokasi wajib sama dengan SPT Tahunan PPh Badan. Peredaran usaha yaitu penyerahan produk ke konsumen langsung, sedangkan SPT Masa PPN tidak hanya penyerahan produk ke konsumen akan tetapi penyerahan produk dari pusat ke cabang atau dari cabang ke cabang lainnya. Jadi wajib hati-hati.
[4] Ada penghasilan diterima dimuka
Saat terutang pajak biasanya saat penyerahan atau saat diterima uang. Mana yang lebih dahulu. Begitu juga dengan PPN. Kita mesti cut-off kapan saat terutang PPN. Seandainya ada uang muka penjualan yang penyerahannya mungkin tiga bulan setelah itu, di akhir tahun uang muka tersebut wajib dihitung sebagai objek PPN yang wajib dibayar.
[5] Pemakaian sendiri dan bonus.
Pemakaian sendiri, pemakaian cuma-cuma atau bonus di laporan keuangan yaitu biaya. Sedangkan di SPT Masa PPN, pemakaian produks sendiri merupakan objek PPN. Seperti pabrik minuman, terkadang ada produk yang tidak Bisa dijual Sebab dibawah standar mutu yang ditetapkan (produk BS), setelah itu produk BS tersebut dibagikan ke karyawan. Ini terutang PPN. Atau mungkin Wajib Pajak membagikan produknya dengan cara cuma-cuma untuk kegiatan amal. Ini juga terutang PPN.
[6] Beda waktu pelaporan
sangat sering pembelian barang dagangan dibayar 30 hari sejak transaksi. Dan faktur pajak standar dibuat selambat-lambatnya akhir bulan berikutnya setelah bulan dilakukan penyerahan. Misalnya transaksi tanggal 23 April, mungkin baru dibayar tanggal 23 Mei. Dan Bisa aja dibuat faktur pajak di tanggal 31 Mei. Transaksi ini dilaporkan selambat-lambatnya tanggal 20 Juni. Jadi, transaksi bulan Desember Bisa dibuatkan faktur pajak bulan Januari tahun berikutnya, SPT Masa PPN bulan Januari.
Dari contoh ini jelas, bahwa transaksi bulan Desember, dengan cara akuntansi wajib diakui di bulan Desember (tahun yang bersangkutan) sedangkan pelaporan PPN baru Bisa dilaksanakan di SPT Masa PPN bulan Januari tahun berikutnya. Tentu akan terjadi perbedaan angka antara peredaran usaha di SPT Tahunan PPh Badan dengan penyerahan barang di SPT Masa PPN.
Daripada repot saat diperiksa oleh kantor pajak, Wajib Pajak wajib menguraikan perbedaan-perbedaan antara SPT Tahunan PPh Badan dengan SPT Masa PPN. Mungkin angka SPT Masa PPN lebih kecil daripada angka SPT Tahunan PPh Badan, setelah itu pemeriksa tidak mengetahui penyebab perbedaan tersebut, maka pemeriksa pajak Bisa serta merta mengoreksi objek PPN. Sebab menurutnya, angka di SPT Tahunan PPh Badan wajib sama dengan angka di SPT Masa PPN! Padahal mungkin aja Sebab perbedaan kurs aja, atau Sebab beda waktu pelaporan.
Satu hal yang berkaitan dengan selisih kurs, Wajib Pajak wajib membuat rekapitulasi perhitungan selisih kurs supaya siapa pun yang memeriksa mengetahui asal muasal angka selisih kurs! Bagaimana orang percaya bila tidak ada perhitungan per transaksi. Mirip ulangan mata pelajaran Matematika di sekolah. Guru matematika selalu menekankan pentingnya memperlihatkan proses mendapatkan hasil akhir. Tahap demi tahap. bila tahapannya benar, jawabannya kemungkinan besar benar. bila langsung dijawab hasil akhir, akan ada pertanyaan, “nih angka Bisa dari mana?”
Epilog
Direktorat Jenderal Pajak memperkenalkan istilah “Wajib Pajak Patuh”. Siapapun yang mendapat predikat Wajib Pajak Patuh berhak mandapat perlakuan khusus seperti mendapat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Equalisasi SPT seperti yang diuraikan diatas akan sangat bermanfaat untuk Wajib Pajak yang berminat menjadi Wajib Pajak Patuh. Selain itu, Wajib Pajak yang telah membuat equalisasi SPT tidak akan repot saat diperiksa oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak. Santai aja! Pemeriksa memang mencari-cari kesalahan, akan tetapi bila kesalahan kita minimal, itu mah manusiawi. No body perfect!