
Sebelum membahas mengenai PPh Pasal 25, tidak Bisa dipungkiri : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Betul sekali Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya sayang belum dialokasikan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Produksi dan gunakan alat alat dan teknologi buatan sendiri. Rakyat kita sudah mampu dan cukup pintar. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas PPh Pasal 25, Ingatlah Namun Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.
PPh Pasal 25
Selamat Pagi...Iva mau tanya lagi mengenai SPT Tahunan, Poin F.ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALANa. Penghasilan yang menjadi dasar penghitungan angsuran, untuk Wajib Pajak di umumnya, merupakan berdasarkan penghasilan teratur menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu; Bagaimana penghasilan yang menjadi dasar perhitungan angsuran pd SPT Tahunan th 2006, bila perusahaan tersebut baru berdiri pd Oktober th 2006 ?
Jawaban saya :
dengan cara umum, rumusan penghitungan PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu : Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan kredit pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 24. Hasilnya dibagi 12 (dua belas).
akan tetapi rumusan tersebut tidak Bisa diterapkan untuk Wajib Pajak dengan “hal-hal tertentu” sebagaimana diatur Pasal 25 ayat (6) UU PPh 1984 :
[1] Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
[2] Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
[3] Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
[4] Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
[5] Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;
[6] Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Pertanyaan diatas tidak berkaitan dengan hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud diatas. Selain hal-hal tertentu, ada juga pengaturan PPh Pasal 25 atas Wajib Pajak tertentu, yaitu : Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, BUMD, dan OP pengusaha tertentu, yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.
bila berkaitan dengan Wajib Pajak baru, bank, capital leasing, BUMN, dan BUMD maka Bisa dilihat di postingan saya terdahulu. akan tetapi kasus yang ditanyakan merupakan PPh Pasal 25 tahun 2007.
Ini bukan Wajib Pajak baru Sebab Wajib Pajak tersebut sudah membuat SPT Tahunan tahun 2006 sementara Wajib Pajak baru maksudnya merupakan Wajib Pajak yang baru berdiri di tahun berjalan dan belum membuat SPT Tahunan. Penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru dengan menghitung penghasilan neto sebulan yang disetahunkan hanya cocok untuk PPh Pasal 25 tahun 2006, yaitu PPh Pasal 25 untuk bulan Nopember dan Desember 2006 hingga dengan Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan tahun 2006 (asumsi SPT paling lambat disampaikan bulan Maret 2007).
Dan di SPT Tahunan tahun 2006 ada perhitungan PPh Pasal 25 untuk PPh Pasal 25 tahun 2007. Penghitungan ini akan jadi acuan untuk penghitungan PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Tips perhitungan inilah yang dipertanyakan. Mungkin Sebab di tahun 2006, penghasilan yang dilaporkan di SPT hanya 3 (tiga) bulan aja.
Jawaban saya ada dua : pertama, bila WP tersebut orang pribadi dengan usaha toko/gerai, dan kedua WP badan atau WP orang pribadi selain yang pertama. Berikut ini uraian lebih lanjut jawaban saya.
Pasal 1 KEP-547/PJ./2000, “Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai tempat usaha termasuk cabang yang tersebar di beberapa tempat bagus dalam satu ataupun beberapa wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.”
setelah itu, Pasal 1 ini dirubah dengan KEP-171/PJ./2002, hingga berbunyi, “Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu merupakan Wajib Pajak yang menjalankan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.” Menurut Keputusan Dirjen Pajak yang terakhir ini, PPh Pasal 25 untuk setiap setiap gerai merupakan 2% dari total omset (peredaran usaha bruto). Inilah jawaban pertama!
Jawaban pertama diatas tidak Bisa diterapkan untuk Wajib Pajak badan atau Wajib Pajak orang pribadi dengan usaha lain. Sebab kasus yang ditanyakan bukan hal-hal tertentu dan bukan Wajib Pajak tertentu, maka berlaku ketentuan umum sebagai diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984. Inilah jawaban kedua! Untuk lebih jelas, saya berikan contoh dengan angka-angka.
PT “X” berdiri dan memulai usaha sebagai jasa konsultasi di bulan Oktober 2006. di bulan Oktober 2006 ini tentu aja tidak ada kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 Sebab pembayaran PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 dibayar di bulan Nopember 2006. Berikut penghasilan terkena pajak yang dibukukan PT “X” setiap bulan : Oktober 2006 sebesar Rp.1.000.000, Nopember 2006 Rp. 1.500.000, dan Desember 2006 sebesar Rp.2.500.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 bulan Oktober 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.000.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.100.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 Nopember 2006 sebagai berikut: ((Rp.1.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.150.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 Desember 2006 sebagai berikut: ((Rp.2.500.000,- x 12) x 10%) / 12 = Rp.250.000,-
Penghitungan PPh Pasal 25 tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000. Rumusannya diatur di Pasal 2 ayat (1), “Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru merupakan sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).”
Penghasilan neto yang dikalikan dengan tarif umum merupakan penghasilan neto menurut pembukuan “setiap bulan” berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf a Keputusan Menteri Keuangan No. 522/KMK.04/2000.
Dengan pembayaran PPh Pasal 25 seperti diatas, maka SPT Tahunan tahun 2006 akan menjadi SPT Nihil. Perhitungannya sebagai berikut:
Penghasilan terkena pajak selama 3 bulan sebesar Rp. 5.000.000,- dikalikan tarif umum 10%, maka PPh terutang Rp.500.000,- Perhitungan PPh terutang ini sama persis dengan kredit pajak PPh Pasal 25 diatas.
Besarnya PPh Pasal 25 bulan Januari 2007 hingga dengan Maret 2007 sama dengan pembayaran PPh Pasal 25 bulan Desember 2006 yaitu sebesar Rp.250.000,- Hal ini berdasarkan Pasal 25 ayat (2) UU PPh 1984, “Besarnya angsuran pajak yang wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.”
setelah itu, berdasarkan PPh terutang tahun pajak 2006, PPh Pasal 25 tahun berjalan sebesar Rp.41.667,- yaitu PPh terutang tahun pajak 2006 sebesar Rp.500.000,- dibagi 12 (dua belas). Hal ini sesuai dengan rumusan di Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984.
PPh Pasal 25 sebesar Rp.41.667,- merupakan PPh Pasal 25 untuk bulan April 2007 dan seterusnya. Penurunan PPh Pasal 25 tersebut merupakan konsekuensi dari Pasal 25 ayat (1) UU PPh 1984, yaitu “menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu” padahal SPT tahun lalu itu hanya 3 (bulan) bulan. Berbeda dengan rumusan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru, yaitu “disetahunkan”. SPT Tahunan menghitung pajak yang benar-benar diperoleh (sebenarnya). Sedangkan penghitungan PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru menghitung pajak dengan “norma” atau “deem”. Disebut norma Sebab penghasilan terkena pajak yang jadi dasar pengenaan pajak merupakan penghasilan terkena pajak yang disetahunkan, bukan yang benar-benar terjadi :) (mudah-mudahan tidak bingung).
Demikian dan mudah-mudahan jadi lebih jelas.