
Sebelum membahas mengenai Keadilan PPh Final, perhatikan bahwa : Semboyan Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar lelucon warisan. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Coba kita bayangkan bila Berikan otonomi seluas luasnya tiap daerah untuk mengatur dan mengelola sumberdaya sendiri. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Keadilan PPh Final, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.
Keadilan PPh Final
Ass, nama saya ris. begini mas saya ingin tahu mengapa Pengenaan PPh final dari beberapa referensi yang saya baca, banyak menimbulkan ketidakadilan, tolong tunjukan dalam contoh perhitungannya apabila memang merugikan wajib pajak. selanjutnya mengapa terdapat perbedaan tarif PPh final (misal untuk bunga deposito, jasa konstruksi, undian, dll ), ataupun masih dalam satu jenis usaha (mis dalam konsturksi ada yang 4% ataupun 2%), apa pertimbangan Dirjen Pajak dalam hal ini. trimakasih sebelumnya.
Jawaban saya:
Betul bahwa PPh final itu “mengandung” ketidakadilan. Mari identifikasi ciri-ciri PPh final.
[1] semua usaha dianggap mempunyai laba;
[2] besaran laba kotor atau marjin laba sudah ditentukan;
[3] tidak memakai tarif progressif.
di kenyataannya tidak semua usaha menghasilkan keuntungan. Pengalaman saya sendiri, beberapa usaha kecil yang saya “rintis” bukan hanya menghasilkan kerugian akan tetapi ditutup Sebab tidak sanggup menanggung kerugian. Setiap usaha pasti mempunyai potensi untung dan sebaliknya mempunyai potensi rugi. Nah, PPh final selalu “distel” bahwa usaha pasti menghasilkan laba. Ciri Asumsi ini dilihat dari basis pajak PPh final merupakan penghasilan bruto.
Untuk menghasilkan suatu angka tertentu sebagai tarif PPh final, sebenarnya administrator perpajakan (DJP) telah memperhitungkan besaran marjin laba. Besaran ini Bisa didapat dari survey, atau langsung mengambil dari database perpajakan, atau bahkan Estimasi para pembuat keputusan aja dengan berpatokan kepada kewajaran usaha.
Tarif yang dipakai untuk mendapatkan tarif efektif di PPh final merupakan tarif tunggal. untuk sebagian para ahli, tarif tunggal tidak mencerminkan keadilan vertikal. Seharusnya memakai tarif progressif seperti : 5%, 10%, 15%, 25%, dan 35% sebagaimana diatur di UU No. 17 tahun 2000 untuk wajib pajak orang pribadi. Artinya, wajib pajak “kecil” membayar pajak lebih kecil Sebab tarifnya juga lebih kecil. Sebaliknya, wajib pajak “besar” akan membayar lebih besar Sebab tarifnya juga lebih besar. Semakin besar penghasilan, besaran tarif semakin besar pula. Inilah yang dimaksud keadilan vertikal.
Walaupun demikian, PPh final mempunyai keuntungan:
[1] sederhana;
[2] sama-sama bayar pajak.
Banyak wajib pajak tidak mau membayar pajak Sebab faktor “jlimet”. Mau bayar pajak aja rumitnya minta ampun. Belum lagi peraturannya yang berubah-ubah, padahal sebagian besar wajib pajak tidak selalu memonitor kebijakan perpajakan. Bagaimana mereka tahu Tutorial menghitung pajak? Kalau tidak tahu Tutorial menghitungnya, bagaimana membayar pajak?
untuk administrasi perpajakan, keadilan selalu bertolak belakang dengan kesederhanaan. Maksudnya, bila kita mau seadil-adilnya maka peraturan perpajakan wajib dibuat kompleks, komprehensif, dan rumit Sebab wajib mengakomodir wajib pajak yang sangat variatif. Sebaliknya, bila dibuat sederhana, pasti banyak fihak yang tidak terakomodasi.
Walaupun tidak adil, akan tetapi masih ada sisi keadilan (he.. he .. tidak adil tapi adil). Ada yang disebut keadilan horisontal. Tarif pajak tunggal yang didasarkan di persentase tertentu akan menghasilkan keadilan horisontal. Wajib pajak membayar pajak dengan cara proporsional.
Jadi, PPh final hanya mempunyai keadilan horisontal akan tetapi tidak mempunyai keadilan vertikal. Sebab itu, sebagian orang bilang bahwa PPh final itu second best policy.
Cag!