Subjek Pajak Dalam Negeri Yang wajib Kita Ketahui - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Artikel Subjek Pajak Dalam Negeri ini khusus didedikasikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, tidak Bisa dipungkiri : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh Industri dan perusahaan wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah. Hasil bumi di daerah tidak boleh dijual ke luar negeri, gunakan dulu untuk rakyat lebihnya baru dijual. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Subjek Pajak Dalam Negeri, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Subjek Pajak Dalam Negeri


Ketentuan subjek pajak dalam negeri diatur di Pasal 2 ayat (3) UU PPh 1984. Berikut bunyi lengkapnya :
(3) Subjek pajak dalam negeri merupakan :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Selain Pasal 2 ayat (3) diatas, yang berkaitan dengan subjek pajak dalam negeri diatur juga di Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 2A UU PPh 1984 mengatur mengenai saat dimulai menjadi subjek pajak.
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai di saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir di saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai di saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir di saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai di saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir di saat warisan tersebut selesai dibagi.

(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.


Penjelasan :
di prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia merupakan mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah wajib berturut-turut, akan tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya Inheren di subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh Sebab itu, dalam rangka membagikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai di saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir di saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya wajib dikaitkan dengan hal-hal yang nyata di saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila di saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka di saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.

Bisa terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak di pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya di pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.


Catatan :
Perhatikan, bagus di batang tubuh ataupun di memori penjelasan tidak ada pengaturan kewarganegaraan. Beberapa teman di DJP sekalipun masih mempunyai pemahaman bahwa seorang warga negara Indonesia atau WNI akan otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Mohon digaris bawahi kalimat pertama memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a yang berbunyi, “di prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.” Kalimat ini [persis sama] sudah ada di memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 1994. Inilah bukti bahwa UU PPh 1984 menganut residence prinsiple atau asas tempat tinggal atau asas domisili!

Persyaratan subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri terdiri [tidak kumulatif] :
[1.] orang pribadi yang bertempat tinggal atau berniat bertempat tinggal di Indonesia
Seseorang yang tertempat tinggal di Indonesia tidak wajib diragukan lagi bahwa dia memang subjek pajak dalam negeri. Sebab di Indonesia berlaku dokumen Kartu Tanda Penduduk [KTP] maka dokumen KTP membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan subjek pajak dalam negeri. Dokumen ini akan menjadi masalah bila setelah itu yang bersangkutan tidak “menetap” di Indonesia. Maksud menetap disini merupakan keberadaan yang bersangkutan di Indonesia. terkadang di Indonesia, terkadang di LN. Bisa jadi orangnya tinggal di Singapur akan tetapi masih mempunyai KTP di Jakarta. Artinya, dokumen KTP hanya formalitas akan tetapi di kenyataannya [substansinya] berbeda. Untuk kasus seperti ini, wajib ada test [pengujian] lain selain KTP.

Perhatikan kalimat memori penjelasan berikut, “Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia merupakan mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.” Niat merupakan sesuatu yang abstrak. Tidak mungkin petugas pajak menanyakan setiap orang yang datang di Bandara Internasional bertanya kepada orang asing, “Apakah Saudara berniat tinggal di Indonesia?” setelah itu si petugas pajak membuat berita acara bahwa orang asing tersebut berniat tinggal di Indonesia dan dijadikan sebagai subjek pajak dalam negeri.

Atau sebaliknya dengan bertanya kepada setiap WNI yang pergi ke Luar Negeri atau berada di Luar Negeri, “Apakah Saudara berniat suatu saat akan tinggal di Indonesia kembali?” Jelas ini pekerjaan tidak wajib. Hal yang sama berlaku untuk orang yang niat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya [saat berakhirnya subjek pajak dalam negeri]. Perhatikan kalimat di memori penjelasan berikut, “Apabila di saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka di saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.” Bukti-bukti yang nyata mengenai niat wajib diberlakukan bagus niat bertempat tinggal atau niat meninggalkan Indonesia. Sebab itu, kita mesti hati-hati apa yang dimaksud dengan niat di Pasal 2A UU PPh 1984.

Contoh seseorang berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia menurut saya : Mr. Y penduduk Tokyo dan warga negara Jepang mendapat “kontrak” bekerja di Toyota Indonesia selama dua tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, maka Mr. Y akan menjadi subjek pajak dalam negeri sejak hari pertama bertugas di Indonesia. Dalam hal pembelian tempat tinggal di Indonesia oleh orang asing menurut saya tidak Bisa dijadikan syarat sebagai subjek pajak dalam negeri. Memang pembelian tempat tinggal Bisa diartikan bahkan pembeli akan tinggal di Indonesia. akan tetapi sangat mungkin orang Singapura yang membeli rumah atau apartemen di Indonesia hanya sekedar untuk tempat singgah atau untuk disewakan [investasi aja].

[2.] Orang pribadi yang lahir di Indonesia
Ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia maka otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. untuk saya memang subjek pajak saya sudah ada sejak saya lahir. Mengapa? Ya logis aja Sebab sejak lahir hingga sekarang saya berada di Indonesia. Tidak kemana-mana! Menurut saya, Anggaran mengenai “kelahiran” ini wajib diterapkan kepada orang-orang yang seperti saya. Orang yang tidak kemana-mana.

[3.] orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pengujian 183 hari merupakan pengujian yang paling adil. Dan penerapannya wajib “reciprocal” atau timbal balik. Maksud saya, bila seseorang berada di Indonesia selama 183 hari atau lebih maka dia manjadi subjek pajak dalam negeri. akan tetapi bila seseorang berada di Luar Negeri selama 183 hari atau lebih maka dia menjadi subjek pajak luar negeri.

The “days of physical presence” method atau pengujian metode 183 hari terutama diterapkan untuk karyawan atau pegawai di Luar Negeri. Kenapa saya hubungkan dengan status karyawan atau pegawai? Sebab banyak sekali email yang masuk dari tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri yang mempermasalahkan status subjek pajak.

Sebagai patokan, saya kutip acuan pengaturan Pasal 15 tax treaty dari OECD yang sering disebut OECD design. Berikut kutipan Pasal 15 ayat (2) OECD design:
Notwithstanding the provisions of paragraph 1, remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment exercised inside different Contracting State shall be taxable only inside first-mentioned State if:
a. the recipient is actually present inside different State for a period or periods not exceeding inside aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending inside fiscal year concerned, in addition to also
b. the remuneration is actually paid by, or on behalf of, an employer who is actually not a resident of the different State, in addition to also
c. the remuneration is actually not borne by permanent establishment which the employer has inside different State.

Contohnya begini : Indonesia mempunyai hak pemajakan penuh atas pekerja ekspatriat [orang asing yang bekerja di Indoneisa] bila si pekerja tersebut berada di Indonesia 183 hari atau lebih. Sebaliknya Indonesia tidak mempunyai hak pemajakan penuh bila [a] berada di Indonesia kurang dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji bukan subjek pajak dalan negeri, dan, [c] gaji bukan biaya nevertheless di Indonesia. bila ketiga syarat tersebut dipenuhi maka atas objek gaji tersebut hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Luar Negeri.

Persyaratan ini tentu [seharusnya] berlaku sebaliknya atau timbal balik. Pekerja Indonesia di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia atas penghasilan gajinya bila tiga syarat tersebut terpenuhi. Atau, atas gaji yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia [TKI] di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Indonesia bila [a] berada di Indonesia lebih dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji merupakan subjek pajak dalan negeri / Indonesia, dan, [c] gaji bukan biaya nevertheless di Luar Negeri.

[4.] badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Untuk subjek pajak berbentuk badan tidak banyak memperdebatkan. Kriterianya pun cuma dua, pertama, semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Contoh : perseroan terbatas, firma, CV, ormas, parpol, dan badan hukum lainnya. Kedua, semua badan yang berkedudukan di Indonesia. Berkedudukan Bisa diartikan tempat manajemen berada atau place of effective management di Indonesia.

Pemerintah walaupun Bisa disebut badan akan tetapi dikecualikan sebagai subjek. Ini logika aja Sebab pemerintah merupakan pihak yang memungut pajak. bila pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pajak yang merupakan penghasilan pemerintah akan dikenakan pajak lagi. Ini tidak masuk akal. Yang benar merupakan pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Bahkan sebagian ahli moneter menyebutkan bahwa pajak merupakan aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.

Waktu kuliah, dulu, ada diskusi : apakah Bank Indonesia subjek pajak atau bukan? Jawabannya bukan subjek pajak Sebab Bank Indonesia bagian dari pemerintah. Dan UU PPh pun nampaknya “selaras” kecuali UU No. 36 tahun 2017 Sebab di Pasal 4 ayat (1) huruf s menyebutkan bahwa surplus Bank Indonesia sebagai objek PPh. Seorang anggota tim perumus RUU PPh mengatakan di saat sosialisasi UU PPh baru di Bandung bahwa Anggaran surplus Bank Indonesia hanya merespon UU Bank Indonesia. Pasal II angka 4 UU No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan,"Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan."

salaam

Supaya lebih lengkap, baca juga Subjek Pajak Luar Negeri

Subjek Pajak Dalam Negeri Yang wajib Kita Ketahui


Artikel Subjek Pajak Dalam Negeri ini khusus didedikasikan untuk kita, tapi sebelum membahasnya, tidak Bisa dipungkiri : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Memang benar Indonesia ada diposisi masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya namun belum dimanfaatkan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh Industri dan perusahaan wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah. Hasil bumi di daerah tidak boleh dijual ke luar negeri, gunakan dulu untuk rakyat lebihnya baru dijual. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas Subjek Pajak Dalam Negeri, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

Subjek Pajak Dalam Negeri


Ketentuan subjek pajak dalam negeri diatur di Pasal 2 ayat (3) UU PPh 1984. Berikut bunyi lengkapnya :
(3) Subjek pajak dalam negeri merupakan :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

3. penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan

4. pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan

c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

Selain Pasal 2 ayat (3) diatas, yang berkaitan dengan subjek pajak dalam negeri diatur juga di Pasal 2A ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6). Pasal 2A UU PPh 1984 mengatur mengenai saat dimulai menjadi subjek pajak.
(1) Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai di saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir di saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

(2) Kewajiban pajak subjektif badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dimulai di saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir di saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

(5) Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 dimulai di saat timbulnya warisan yang belum terbagi dan berakhir di saat warisan tersebut selesai dibagi.

(6) Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.


Penjelasan :
di prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia merupakan mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.

Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah wajib berturut-turut, akan tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya Inheren di subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh Sebab itu, dalam rangka membagikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.

Kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia dimulai di saat ia lahir di Indonesia. Untuk orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, kewajiban pajak subjektifnya dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi berakhir di saat ia meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya wajib dikaitkan dengan hal-hal yang nyata di saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila di saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka di saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.

Bisa terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi subjek pajak di pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya di pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.


Catatan :
Perhatikan, bagus di batang tubuh ataupun di memori penjelasan tidak ada pengaturan kewarganegaraan. Beberapa teman di DJP sekalipun masih mempunyai pemahaman bahwa seorang warga negara Indonesia atau WNI akan otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri yang mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Mohon digaris bawahi kalimat pertama memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a yang berbunyi, “di prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia.” Kalimat ini [persis sama] sudah ada di memori penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf a UU No. 10 Tahun 1994. Inilah bukti bahwa UU PPh 1984 menganut residence prinsiple atau asas tempat tinggal atau asas domisili!

Persyaratan subjek pajak sebagai subjek pajak dalam negeri terdiri [tidak kumulatif] :
[1.] orang pribadi yang bertempat tinggal atau berniat bertempat tinggal di Indonesia
Seseorang yang tertempat tinggal di Indonesia tidak wajib diragukan lagi bahwa dia memang subjek pajak dalam negeri. Sebab di Indonesia berlaku dokumen Kartu Tanda Penduduk [KTP] maka dokumen KTP membuktikan bahwa seseorang tersebut merupakan subjek pajak dalam negeri. Dokumen ini akan menjadi masalah bila setelah itu yang bersangkutan tidak “menetap” di Indonesia. Maksud menetap disini merupakan keberadaan yang bersangkutan di Indonesia. terkadang di Indonesia, terkadang di LN. Bisa jadi orangnya tinggal di Singapur akan tetapi masih mempunyai KTP di Jakarta. Artinya, dokumen KTP hanya formalitas akan tetapi di kenyataannya [substansinya] berbeda. Untuk kasus seperti ini, wajib ada test [pengujian] lain selain KTP.

Perhatikan kalimat memori penjelasan berikut, “Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia merupakan mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.” Niat merupakan sesuatu yang abstrak. Tidak mungkin petugas pajak menanyakan setiap orang yang datang di Bandara Internasional bertanya kepada orang asing, “Apakah Saudara berniat tinggal di Indonesia?” setelah itu si petugas pajak membuat berita acara bahwa orang asing tersebut berniat tinggal di Indonesia dan dijadikan sebagai subjek pajak dalam negeri.

Atau sebaliknya dengan bertanya kepada setiap WNI yang pergi ke Luar Negeri atau berada di Luar Negeri, “Apakah Saudara berniat suatu saat akan tinggal di Indonesia kembali?” Jelas ini pekerjaan tidak wajib. Hal yang sama berlaku untuk orang yang niat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya [saat berakhirnya subjek pajak dalam negeri]. Perhatikan kalimat di memori penjelasan berikut, “Apabila di saat ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti-bukti yang nyata mengenai niatnya untuk meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka di saat itu ia tidak lagi menjadi subjek pajak dalam negeri.” Bukti-bukti yang nyata mengenai niat wajib diberlakukan bagus niat bertempat tinggal atau niat meninggalkan Indonesia. Sebab itu, kita mesti hati-hati apa yang dimaksud dengan niat di Pasal 2A UU PPh 1984.

Contoh seseorang berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia menurut saya : Mr. Y penduduk Tokyo dan warga negara Jepang mendapat “kontrak” bekerja di Toyota Indonesia selama dua tahun. Berdasarkan kontrak tersebut, maka Mr. Y akan menjadi subjek pajak dalam negeri sejak hari pertama bertugas di Indonesia. Dalam hal pembelian tempat tinggal di Indonesia oleh orang asing menurut saya tidak Bisa dijadikan syarat sebagai subjek pajak dalam negeri. Memang pembelian tempat tinggal Bisa diartikan bahkan pembeli akan tinggal di Indonesia. akan tetapi sangat mungkin orang Singapura yang membeli rumah atau apartemen di Indonesia hanya sekedar untuk tempat singgah atau untuk disewakan [investasi aja].

[2.] Orang pribadi yang lahir di Indonesia
Ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia maka otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. untuk saya memang subjek pajak saya sudah ada sejak saya lahir. Mengapa? Ya logis aja Sebab sejak lahir hingga sekarang saya berada di Indonesia. Tidak kemana-mana! Menurut saya, Anggaran mengenai “kelahiran” ini wajib diterapkan kepada orang-orang yang seperti saya. Orang yang tidak kemana-mana.

[3.] orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
Pengujian 183 hari merupakan pengujian yang paling adil. Dan penerapannya wajib “reciprocal” atau timbal balik. Maksud saya, bila seseorang berada di Indonesia selama 183 hari atau lebih maka dia manjadi subjek pajak dalam negeri. akan tetapi bila seseorang berada di Luar Negeri selama 183 hari atau lebih maka dia menjadi subjek pajak luar negeri.

The “days of physical presence” method atau pengujian metode 183 hari terutama diterapkan untuk karyawan atau pegawai di Luar Negeri. Kenapa saya hubungkan dengan status karyawan atau pegawai? Sebab banyak sekali email yang masuk dari tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri yang mempermasalahkan status subjek pajak.

Sebagai patokan, saya kutip acuan pengaturan Pasal 15 tax treaty dari OECD yang sering disebut OECD design. Berikut kutipan Pasal 15 ayat (2) OECD design:
Notwithstanding the provisions of paragraph 1, remuneration derived by a resident of a Contracting State in respect of an employment exercised inside different Contracting State shall be taxable only inside first-mentioned State if:
a. the recipient is actually present inside different State for a period or periods not exceeding inside aggregate 183 days in any twelve month period commencing or ending inside fiscal year concerned, in addition to also
b. the remuneration is actually paid by, or on behalf of, an employer who is actually not a resident of the different State, in addition to also
c. the remuneration is actually not borne by permanent establishment which the employer has inside different State.

Contohnya begini : Indonesia mempunyai hak pemajakan penuh atas pekerja ekspatriat [orang asing yang bekerja di Indoneisa] bila si pekerja tersebut berada di Indonesia 183 hari atau lebih. Sebaliknya Indonesia tidak mempunyai hak pemajakan penuh bila [a] berada di Indonesia kurang dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji bukan subjek pajak dalan negeri, dan, [c] gaji bukan biaya nevertheless di Indonesia. bila ketiga syarat tersebut dipenuhi maka atas objek gaji tersebut hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Luar Negeri.

Persyaratan ini tentu [seharusnya] berlaku sebaliknya atau timbal balik. Pekerja Indonesia di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak penghasilan di Indonesia atas penghasilan gajinya bila tiga syarat tersebut terpenuhi. Atau, atas gaji yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia [TKI] di Luar Negeri hanya akan dikenakan pajak [shall be taxable only] di Indonesia bila [a] berada di Indonesia lebih dari 183 hari, dan, [b] majikan atau pembayar gaji merupakan subjek pajak dalan negeri / Indonesia, dan, [c] gaji bukan biaya nevertheless di Luar Negeri.

[4.] badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Untuk subjek pajak berbentuk badan tidak banyak memperdebatkan. Kriterianya pun cuma dua, pertama, semua badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Contoh : perseroan terbatas, firma, CV, ormas, parpol, dan badan hukum lainnya. Kedua, semua badan yang berkedudukan di Indonesia. Berkedudukan Bisa diartikan tempat manajemen berada atau place of effective management di Indonesia.

Pemerintah walaupun Bisa disebut badan akan tetapi dikecualikan sebagai subjek. Ini logika aja Sebab pemerintah merupakan pihak yang memungut pajak. bila pemerintah dijadikan subjek pajak maka pemerintah akan memungut pajak atas dirinya sendiri. Pajak yang merupakan penghasilan pemerintah akan dikenakan pajak lagi. Ini tidak masuk akal. Yang benar merupakan pemerintah sebagai “orang” memungut pajak atas penghasilan “orang lain”. Bahkan sebagian ahli moneter menyebutkan bahwa pajak merupakan aliran dana dari sektor privat ke sektor publik.

Waktu kuliah, dulu, ada diskusi : apakah Bank Indonesia subjek pajak atau bukan? Jawabannya bukan subjek pajak Sebab Bank Indonesia bagian dari pemerintah. Dan UU PPh pun nampaknya “selaras” kecuali UU No. 36 tahun 2017 Sebab di Pasal 4 ayat (1) huruf s menyebutkan bahwa surplus Bank Indonesia sebagai objek PPh. Seorang anggota tim perumus RUU PPh mengatakan di saat sosialisasi UU PPh baru di Bandung bahwa Anggaran surplus Bank Indonesia hanya merespon UU Bank Indonesia. Pasal II angka 4 UU No. 3 Tahun 2004 yang menyatakan,"Sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa surplus Bank Indonesia dikenakan pajak penghasilan, maka berdasarkan Undang-undang ini surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan."

salaam

Supaya lebih lengkap, baca juga Subjek Pajak Luar Negeri
Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo