WPDN tapi tinggal di LN Yang wajib Kita Baca - Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Belajar Pajak | Sejarah dan Sosial Budaya

Situs Personal Berbagi Ilmu Pajak dan Sejarah Indonesia


Sebelum membahas mengenai WPDN tapi tinggal di LN, perhatikan bahwa : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Betul sekali Indonesia pernah mendapatkan masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya tapi belum dialokasikan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas WPDN tapi tinggal di LN, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

WPDN tapi tinggal di LN


suatu pertanyaan via email mengenai PPh atas pembayaran deviden telah menyadarkan saya bahwa praktek di lapangan ada Wajib Pajak Dalam Negeri [WPDN] tapi tinggal di Luar Negeri [LN], misalnya Singapore. WPDN yang dimaksud yaitu seseorang yang mempunyai NPWP. Kita perhatikan, siapa yang wajib mempunyai NPWP menurut UU KUP berikut ini.

Pasal 2 ayat (1) UU KUP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor inti Wajib Pajak.

Penjelasan ayat ini berbunyi :
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri di kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor inti Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif yaitu persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif yaitu persyaratan untuk subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk menjalankan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Dan persyaratan subjektif yang dimaksud [mengenai WPDN] diatur di Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [perubahan tahun 2017]
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Sedangkan kapan berakhirnya seseorang menjadi WPDN, diatur di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 [perubahan tahun 2017]
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai di saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir di saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Memang di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa WPDN [atau lebih tepat subjek pajak dalam negeri] berakhir di saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Perkataan-Perkataan “untuk selama-lamnya” saya pikir tidak Bisa disamakan dengan “tidak akan kembali ke Indonesia". Coba perhatikan memori penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984:

Subjek pajak luar negeri yaitu orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang Bisa menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, bagus melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, akan tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut yaitu subjek pajak luar negeri.

Ditambah lagi penjelasan Pasal 2A ayat (4) UU PPh 1984 :

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, yaitu subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.


untuk saya, dua penjelasan diatas mempertegas bahwa untuk orang pribadi yang sering “mondar-mandir” antara dalan negeri dan luar negeri maka status WPDN atau WPLN ditentukan oleh keberadaan dirinya di Indonesia atau di LN selama 183 hari dalam satu tahun. Contoh, bila di tahun 2017 seseorang berada di Singapore selama 183 hari maka dia berstatus WPLN. Sedangkan di tahun 2010 dia berada di Singapore kurang 183 hari [misalkan cuma 180 hari aja] dan sisanya berada di Indonesia maka dia statusnya WPDN.

Kembali ke pertanyaan via email tadi. PT X pemegang sahamnya A dan B. Kebetulan A berdomisili di Singapore [misalkan tinggal lebih dari 183 hari]. akan tetapi sebelumnya penduduk Jakarta sehingga dulunya mempunyai NPWP. Sedangkan B masih di Jakarta. Dengan demikian, maka A sekarang statusnya WPLN dan B berstatus WPDN. Nah, di waktu pembayaran deviden ke A, apakah dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26? Jawaban saya, dipotong PPh Pasal 26 Sebab statusnya sudah WPLN.

Walaupun di Pasal 2 ayat (1) UU KUP tidak disebutkan apakah kewajiban subjektif tersebut subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri akan tetapi pendapat saya hanya subjek pajak dalam negeri. Kenapa? Sebab ada kewajiban mendaftarkan diri di KPP. Perhatikan kutipan berikut, “.. wajib mendaftarkan diri .. meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan …” Artinya, subjek pajak luar negeri memang tidak wajib mempunyai NPWP.

Terus bagaimana dengan si A? bila masih mempunyai NPWP memang dengan cara formal mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Menurut saya, selama NPWP belum dicabut, kewajiban perpajakan masih Inheren. Dan mohon dicatat bahwa format SPT Tahunan kita hanya untuk WPDN dengan world wide income atau full liabilities. Bagaimana A yang berstatus WPLN akan tetapi wajib melaporkan penghasilan seperti WPDN? Ini kontradiksi.

Salah satu prinsip yang dipakai di Indonesia yaitu the substance over-form. Seharusnya peraturan materil juga mengalahkan peraturan formal. Si A dengan cara substansi sebagai WPLN akan tetapi dengan cara formal sebagai WPDN.

WPDN tapi tinggal di LN Yang wajib Kita Baca


Sebelum membahas mengenai WPDN tapi tinggal di LN, perhatikan bahwa : Tagline Indonesia gemah ripah lojinawi bukan sekedar gurauan palsu. Betul sekali Indonesia pernah mendapatkan masa kejayaan di jaman kerajaan2 dahulu. Indonesia ini negara dengan sumber alam yg kaya tapi belum dialokasikan untuk pembangunan yang sebenarnya. Coba kita bayangkan bila Seluruh pelayanan umum wajib dimiliki & dikelola pemerintah daerah dan digratiskan. Pendidikan wajib hingga jenjang S1 dan digratiskan. Maka Indonesia akan cepat berkembang. Sebelum membahas WPDN tapi tinggal di LN, Ingatlah bila Itu semua akan terlaksana bila kita membayar pajak dengan bagus.

WPDN tapi tinggal di LN


suatu pertanyaan via email mengenai PPh atas pembayaran deviden telah menyadarkan saya bahwa praktek di lapangan ada Wajib Pajak Dalam Negeri [WPDN] tapi tinggal di Luar Negeri [LN], misalnya Singapore. WPDN yang dimaksud yaitu seseorang yang mempunyai NPWP. Kita perhatikan, siapa yang wajib mempunyai NPWP menurut UU KUP berikut ini.

Pasal 2 ayat (1) UU KUP
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor inti Wajib Pajak.

Penjelasan ayat ini berbunyi :
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri di kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor inti Wajib Pajak.

Persyaratan subjektif yaitu persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif yaitu persyaratan untuk subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk menjalankan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.

Dan persyaratan subjektif yang dimaksud [mengenai WPDN] diatur di Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [perubahan tahun 2017]
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

Sedangkan kapan berakhirnya seseorang menjadi WPDN, diatur di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 [perubahan tahun 2017]
Kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dimulai di saat orang pribadi tersebut lahir, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir di saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Memang di Pasal 2A ayat (1) UU PPh 1984 menyebutkan bahwa WPDN [atau lebih tepat subjek pajak dalam negeri] berakhir di saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Perkataan-Perkataan “untuk selama-lamnya” saya pikir tidak Bisa disamakan dengan “tidak akan kembali ke Indonesia". Coba perhatikan memori penjelasan Pasal 2 ayat (4) UU PPh 1984:

Subjek pajak luar negeri yaitu orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang Bisa menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, bagus melalui ataupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, akan tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut yaitu subjek pajak luar negeri.

Ditambah lagi penjelasan Pasal 2A ayat (4) UU PPh 1984 :

Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang tidak menjalankan usaha atau menjalankan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, yaitu subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap ada apabila orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.


untuk saya, dua penjelasan diatas mempertegas bahwa untuk orang pribadi yang sering “mondar-mandir” antara dalan negeri dan luar negeri maka status WPDN atau WPLN ditentukan oleh keberadaan dirinya di Indonesia atau di LN selama 183 hari dalam satu tahun. Contoh, bila di tahun 2017 seseorang berada di Singapore selama 183 hari maka dia berstatus WPLN. Sedangkan di tahun 2010 dia berada di Singapore kurang 183 hari [misalkan cuma 180 hari aja] dan sisanya berada di Indonesia maka dia statusnya WPDN.

Kembali ke pertanyaan via email tadi. PT X pemegang sahamnya A dan B. Kebetulan A berdomisili di Singapore [misalkan tinggal lebih dari 183 hari]. akan tetapi sebelumnya penduduk Jakarta sehingga dulunya mempunyai NPWP. Sedangkan B masih di Jakarta. Dengan demikian, maka A sekarang statusnya WPLN dan B berstatus WPDN. Nah, di waktu pembayaran deviden ke A, apakah dipotong PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 26? Jawaban saya, dipotong PPh Pasal 26 Sebab statusnya sudah WPLN.

Walaupun di Pasal 2 ayat (1) UU KUP tidak disebutkan apakah kewajiban subjektif tersebut subjek pajak dalam negeri atau subjek pajak luar negeri akan tetapi pendapat saya hanya subjek pajak dalam negeri. Kenapa? Sebab ada kewajiban mendaftarkan diri di KPP. Perhatikan kutipan berikut, “.. wajib mendaftarkan diri .. meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan …” Artinya, subjek pajak luar negeri memang tidak wajib mempunyai NPWP.

Terus bagaimana dengan si A? bila masih mempunyai NPWP memang dengan cara formal mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan PPh OP. Menurut saya, selama NPWP belum dicabut, kewajiban perpajakan masih Inheren. Dan mohon dicatat bahwa format SPT Tahunan kita hanya untuk WPDN dengan world wide income atau full liabilities. Bagaimana A yang berstatus WPLN akan tetapi wajib melaporkan penghasilan seperti WPDN? Ini kontradiksi.

Salah satu prinsip yang dipakai di Indonesia yaitu the substance over-form. Seharusnya peraturan materil juga mengalahkan peraturan formal. Si A dengan cara substansi sebagai WPLN akan tetapi dengan cara formal sebagai WPDN.

Load Comments

Subscribe Our Newsletter

Notifications

Disqus Logo